Membangun Sains Islam

Salah satu tugas universitas Islam, baik UII maupun universitas Islam lainnya, adalah menghasilkan dan mengajarkan sains Islam (Islamic sciences). Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf dalam bukunya yang berjudul The Concept of Islamic University. Kedua penulis di atas mengungkapkan bahwa sejumlah ciri universitas Islam. Di samping ciri-ciri konsep pendidikan yang berdasar tauhid, staf pengajar yang menjunjung tinggi nilai Islam, mahasiswa yang terseleksi secara moral dan akademis, pimpinan dan staf yang berdedikasi, salah satu ciri yang penting universitas Islam adalah mengembangkan dan mengajarkan sains yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Pertanyaan yang diajukan dalam tulisan ini: apakah yang dimaksud dengan sains Islam dan bagaimana mewujudkannya?

Ciri Sains Islam

Adakah sains Islam? Pertanyaan ini seringkali muncul. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dijawab dulu apa yang dimaksud dengan sains Islam. Sains Islam adalah segala disiplin ilmu yang memiliki keterkaitan orisinal dengan sumber utama agama Islam, yaitu kitab suci al-Qur’an  dan al-Hadits. Sains Islam meliputi ilmu umum dan islamic studies. Sains Islam meliputi natural science dan socio-humanity sciences. Sains Islam meliputi ilmu yang berbasis teks dan ilmu yang berbasis empiris. Pengikatnya, sebagaimana diungkapkan Osman Bakar dalam buku Islam dan Science, adalah tauhid. Sepanjang ilmu pengetahuan itu memiliki keterkaitan dengan prinsip tauhid, maka dia adalah sains Islam.

Dengan demikian, bila suatu konsep atau teori yang berkembang dalam disiplin ilmu itu memiliki keterkaitan dengan prinsip tauhid, maka dia dapat disebut sebagai sains Islam. Sebagai contoh, dalam tradisi psikologi Barat sebagaimana diungkapkan oleh Watkins dkk, kebersyukuran (gratitude) hanya berkaitan dengan perasaan keberlimpahan atas karunia yang diterima dan tidak terkait dengan Tuhan sebagai pemberi. Dalam psikologi Islam, kebersyukuran berkaitan dengan kesadaran dan perilaku atas keberlimpahan yang bersumber dari Tuhan. Dalam tradisi psikologi Barat sebagaimana diungkapkan oleh Petersen dan Seligman dalam buku Character Strengths and Virtues, rendah hati (humility) berkaitan dengan ketiadaan anggapan diri sebagai lebih spesial dari orang lain. Dalam psikologi Islam, rendah hati (tawadhu’) berkaitan dengan kesediaan untuk menerima kebenaran –dari siapapun dan kapan pun—dan tidak menganggap  diri lebih dari orang lain.

Dari apa yang sudah dihasilkan oleh para ahli hukum, ahli ekonomi, ahli psikologi, dan ahli-ahli dari beragam disiplin ilmu yang melakukan kajian sains Islam, dapat diketahui bahwa sains Islam itu eksis. Sains Islam itu nyata adanya.

Ciri khas Islamic sciences berikutnya adalah amaliah. Apa yang diketahui haruslah berkaitan dengan perilaku. Di samping pastinya apa yang dilakukan juga didasari oleh pengetahuannya. Oleh karena itu, tidak mungkin seorang ilmuwan muslim itu sangat tinggi ilmunya tapi tidak mengamalkannya.

Upaya Mewujudkan Sains Islam

Ada banyak jalan menuju Roma, ungkap sastrawan Idrus. Ada banyak jalan untuk mewujudkan sains Islam. Kuntowijoyo dalam buku Paradigma Islam pernah menawarkan apa yang disebut sebagai objektivikasi. Objektivikasi adalah usaha untuk mentransformasikan kebenaran mutlak yang ada dalam kitab suci yang bersifat normatif menjadi kebenaran yang objektif yang dapat diukur. Kalau dalam al-Qur’an  diungkapkan berbagai konsep seperti keikhlasan keimanan, kebersyukuran, kesabaran, pemaafan, dan seterusnya, maka konsep tersebut harus dapat diungkap secara jelas indikator dan bagaimana pengukurannya. Upaya ini diakui memang tidak mudah, dikarenakan ilmuwan perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang isi al-Qur’an  dan al-Hadits. Kalaupun kemampuan mengakses langsung al-Qur’an  itu tidak dimiliki, ilmuwan Muslim tidak harus berputus asa. Ilmuwan Muslim dapat menjalin kerjasama dengan ahli-ahli tafsir al-Qur’an  dan ahli al-Hadits. Bisa pula dilakukan dengan mengacu kepada pendapat para ulama dan ilmuwan Muslim sebagaimana tertuang dalam berbagai kitab tafsir al-Qu’an dan al-hadis serta berbagai pemikiran Islam lainnya.

Selain itu, saya –dalam buku Agenda Psikologi Islami— pernah menawarkan rekonstruksi teori. Rekonstruksi teori ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai pemikiran dan temuan sains moderen masa kini untuk dimasukkan dalam kerangka Islam tentang suatu hal. Asumsi yang dibangun adalah kebenaran dapat ditemukan di mana-mana dana dapat ditemukan dalam kitab berbagai agama. Namun, ilmu tertinggi adalah yang bersumber langsung dari Allah ‘azza wa jalla. Dalam psikologi, upaya rekonstruksi ini dilakukan dengan mengintegrasikan pemikiran dan temuan dari ilmu kontemporer sekuler. Misalnya mengintegrasikan teknik relaksasi dan zikir, sehingga jadilah relaksasi zikir.

Selain rekonstruksi teori, para ilmuwan juga menawarkan komparasi, komplementasi, verifikasi, kritik Islam, pararelisasi, bahkan similarisasi.

Agenda Sains Islam di UII

Sewaktu mengisi kuliah umum di IAIN Kediri beberapa waktu lalu, saya mendapat komentar menarik dari Ketua Prodi Psikologi Islam. “UII merupakan universitas terdepan dalam mengembangkan ilmu-ilmu sosial-humaniora Islam.” Saya sendiri tidak langsung menyetujui pendapatnya, tetapi saya bersyukur UII dipersepsikan sebagai perguruan tingi yang peduli dengan pengembangan sains Islam. Sekurang-kurangnya mengacu kepada pendapat sahabat dari Kediri itu, program studi-program studi di UII yang memiliki komitmen keislaman adalah ekonomi Islam, ilmu ekonomi, ilmu hukum, dan psikologi. Prodi non ilmu sosial-humaniora yang bersemangat memasukkan perspektif Islam adalah kedokteran.

Saya berharap pimpinan UII memiliki agenda yang kuat untuk pengembangan sains Islam di universitas nasional yang berpengalaman ini. Program aksi yang saya usulkan adalah UII banyak memelopori konferensi nasional dan internasional yang relevan dengan sains Islam. Kepeloporan sudah dilakukan sejumlah Program Studi. Proyek sejenis sudah dilakukan Program Pascasarjana Psikologi FPSB UII yang sejak 2015 hingga kini selalu menggelar The Inter-Islamic University Conference on Psychology (IIUCP) bekerjasama dengan lebihh kurang 8 universitas Islam. Prodi Psikologi sudah mengelar The National Conference on Islamic Psychology tiap tahun sejak 2015 dan juga menyelenggarakan The International Conference on Islamic Psychology mulai 2018.

Yang tak kalah strategis dilakukan adalah UII menyediakan hibah buku ajar yang berbasis konsep sains Islam.  Apa yang sudah dilakukan dengan Proyek Menulis Buku “Islam dalam Disiplin Ilmu” pada tahun 2015 perlu dilestarikan.

Tentu saja proyek yang paling menantang adalah memasukkan sains Islam dalam kurikulum. Salah satu capaian pembelajaran semestinya berkaitan dengan kemampuan mengintegrasikan Islam dengan sains yang dipelajari. Apa yang dilakukan oleh IIUM (Malaysia) dengan menyelenggarakan matakuliah Islamization of Knowledge patur menjadi perhatian sungguh-sungguh dari penyelenggara pendidikan di UII. UII dapat menawarkan Matakuliah Islam dalam Disiplin Ilmu sehingga muncullah matkul Islam dalam Disiplin Psikologi, Islam dalam Disiplin AKuntansi, Islam dalam Disiplin Hubungan Internasional, dan sebagainya.

Sumber Daya Manusia

Menurut saya, salah satu hal penting dalam pengembangan sains Islam adalah rekrutmen SDM yang memiliki modal keislaman. Modal keislaman yang dimaksud adalah komitmen yang besar untuk mengembangkan sains Islam dan pengetahuan keilmuan Islam yang memadai. Komitmen mengembangkan sains Islam adalah niat yang kuat untuk mengintegrasikan segala hal, temasuk ilmu pengetahuan, dengan agama Islam. Islam dan ilmu bukanlah hal yang terpisah. Islam dan ilmu adalah satu kesatuan. Pengetahuan keilmuan Islam adalah pengetahuan yang diakses langsun dari kitab suci al-Qur’an  dan al-Hadits. Dalam hal ini adalah penting bagi SDM yang dimiliki UII untuk memiliki kemampuan mengakses langsung kepada isi al-Qu’an dan al-Hadits. Tanpa SDM yang komit terhadap pengembangan sains Islam, tidak akan mungkin bagi UII untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan sains Islam.

Lalu, bagaimana dengan SDM yang sudah telanjur masuk tanpa memiliki modalitas keislaman yang mencukupi? Tugas UII adalah mendidik dosen tersebut agar memiliki modalitas pengetahuan Islam dengan mewajibkannya mengikuti suatu course atau studi S1-S2 yang menunjang disiplin ilm yang menjadi kompetensinya.

Demikian. Bagaimana pendapat Anda?

*) Dr H Fuad Nashori, Psikolog adalah dosen psikologi Islam dan Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.