Ponari vs Ponaryo
Hari-hari belakangan ini kita sangat instens mendengar nama Ponari tersebut di telinga kita. Namanya begitu melejit. Hampir tiap hari media massa memberitakannya. Di mana-mana orang membicarakannya. Yang pasti ia menjadi dukung cilik, yang dengan ‘batu petir’ yang dimilikinya orang-orang datang untuk memperoleh kesembuhan atas penyakitnya.
Setiap kali mendengar nama Ponari, saya langsung teringat dengan nama lain yang sangat mirip, yaitu Ponaryo, tepatnya Ponaryo Astaman. Yang disebut belakangan ini bukanlah seorang dukun, tapi seorang pemain tim nasional sepakbola Indonesia yang beberapa minggu sebelumnya berhasil meredam raksasa sepabola Asia, yaitu Oman dan Australia. Saat mengaitkan dua nama ini, saya mendapatkan beberapa kata kunci: versus, subjek, dan objek.
Versus. Maksudnya adalah dua pihak memiliki keadaan yang berbeda bahkan bertolak belakang. Ponari dan Ponaryo, sekalipun memiliki nama yang hampir sama, namun nasibnya bertolak belakang. Yang satu memiliki kebebasan, yang lain mengalami nasib sebagai manusia terkekang.
Subjek. Ponaryo adalah seorang subjek. Sebagai subjek, ia memiliki hak-hak pribadinya, merancang sendiri kehidupannya, dan memiliki kebebasan saat bertindak sesuai dengan perannya. Yang menarik adalah Ponaryo adalah pemain gelandang dalam tim sepakbola. Ia memiliki kebebasan untuk bergerak di tengah, kiri, kanan, depan dan belakang. Ia dapat mengatur tempo permainan, apakah langsung menyerang atau lebih memainkan bola di wilayah sendiri. Ponaryo tampil utuh sebagai pribadi, bahkan dapat tampil secara baik sebagai pemimpin yang mengatur serangan timnya.
Objek. Sementara Ponari, sang dukun ‘batu petir’, tampaknya lebih merupakan objek. Sesungguhnya ia punya kelebihan. Batu yang dimilikinya, entah memang sungguh hebat atau semata-mata karena keyakinan orang akan kesaktiannya, dianggap keramat atau sakti. Sayangnya, ia bukanlah orang yang mengendalikan sendiri apa yang dimilikinya. Ia kehilangan hak dasarnya sebagai manusia, yaitu kebebasan dan memperoleh pendidikan. Bahkan kewajibannya yang paling pokok, yaitu memperoleh pendidikan yang wajar, kini tak ia peroleh. Pihak sekolah tempat ia belajar pun sudah mengancam bahwa Ponari bisa saja dikeluarkan dari sekolah bila ia mangkir lebih lama lagi (saat tulisan ini dibuat ia mangkir lebih dari sebulan). Ponari tersandera oleh batu ‘sakti’ yang dimilikinya dan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Saya rasa kita tidak rela bila anak muda bangsa ini, Ponari dan yang lain, terus menjadi objek dari kepentingan sesaat dari orang-orang di sekitarnya. Kita pasti tidak rela ketika ada seseorang atau sekelompok orang mendapatkan kesenangan di atas penderitaan orang lain. Kita sudah lihat sendiri, Ponari tersandera oleh paman dan para tetangganya yang bermaksud mengeruk keuntungan dari kelebihan yang dimiliki Ponari. Ponari di