Kampus, Haram untuk Kampanye !
Menyambung diskusi saya dengan Dekan fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya tentang kampanye masuk kampus beberapa minggu yang lalu. Pada dasarnya kampus adalah sebuah institusi pendidikan yang sudah semestinya dioptimalkan sebaik-baiknya untuk kepentingan pendidikan sehingga mampu menciptakan sebuah generasi penerus bangsa yang berkualitas. Bukan digunakan untuk memberikan ‘doktrin-doktrin politik’ melalui kampanye oleh para calon legislatif (caleg) maupun partai politik.
Tahun 2009 memang menjadi tahunnya pemilu. Pada bulan April dan Juni 2009, negara Indonesia akan melaksanakan pemilihan anggota dewan dan presiden. Disini para partai, para caleg dan mungkin cawapres akan berlomba-lomba untuk memperkenalkan diri serta menarik simpati masyarakat sehingga memperoleh banyak suara pada pemilu nanti. Segala cara dan trik dilakukan, mulai dari cara yang dihalalkan hingga cara-cara yang diharamkan. Kampus adalah area strategis untuk melaksanakan tujuan tadi. Banyak dari pemilih pemula yang belum menentukan pilihan, oleh sebab itu mengapa kampus menjadi sasaran yang sangat ideal untuk mengumpulkan banyak suara.
Secara tegas saya menolak wacana tadi, bukan bermaksud untuk mengganggu hak individu untuk menerima segala informasi atau pro terhadap sikap golput (sebutan bagi orang yang tidak menggunakan hak pilihnya), tapi sangat kurang bijak jika kampanye di kampus dilegalkan atau bahkan difasilitasi, selain tidak sesuai dengan fungsi Institusi pendidikan itu sendiri, UU No. 10 tentang Pemilihan umum pasal 84 ayat 1 yang menyatakan bahwa (1). Pelaksana, peserta dan petugas kampanye dilarang : (pada huruf h). menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Secara UU kampanye di area kampus juga dilarang, sebab kampus adalah sebuah institusi pendidikan. Apabila tujuan diperbolehkannya kampanye di kampus untuk memberikan pendidikan politik kepada para mahasiswa yang tertarik di bidang politik, akan sangat tepat jika kampus mengadakan sebuah seminar, talkshow atau diskusi mengenai politik dengan mengundang para pengamat dan pakar politik sebagai nara sumber, bukan para caleg atau pimpinan partai politik. Sehingga pengetahuan dan informasi yang diperoleh akan lebih valid tanpa adanya intervensi dan tentensi pada salah satu partai politik.