MENGELOLA EKSPEKTASI: SIAP MENANG, SIAP KALAH

Oleh: Hazhira Qudsyi, S.Psi., M.A—– 

“Berikan saya ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa saya ubah, keberanian untuk mengubah apa yang bisa saya ubah, dan kebjiaksanaan untuk tahu perbedaan antara keduanya”

(Reinhold Nieburh)

Bisa jadi ada masa dalam hidup kita, bahwa apa yang terjadi pada diri kita tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Kecewa? Mungkin. Sedih? Mungkin juga. Seberapa jauh perasaan itu sampai mengganggu kita, membuat kita frustasi bahkan putus asa? Mengapa seringkali kita siap jika kita berhasil mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, namun tidak siap ketika kenyataan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan? Apakah kita memiliki ekspektasi yang berlebihan? Sehingga ketika kita kalah, ketika belum berhasil, merasa frustasi?

Kalau saya bertanya, sebenarnya apa sih ekspektasi itu? Seringkali orang yang saya tanyakan menjawab, bahwa ekspektasi itu harapan. Ya, cukup banyak orang yang menyamakan ekspektasi dengan harapan. Loh, apakah kemudian itu salah? Tidak sepenuhnya benar, dan tidak sepenuhnya salah.

Jika merujuk pada beberapa sumber, harapan sering diartikan sebagai pandangan umum dalam memaknai suatu hasil yang dilihat dari berbagai sudut pandang. Nah, harapan ini tidak hanya dilihat dari kepentingan diri sendiri saja, tetapi ingat, dari berbagai sudut pandang. Sementara itu, ekspektasi lebih bersifat egosentris, di mana ekspektasi ini seringkali hanya difokuskan pada keinginan pribadi saja. Misalnya, “saya itu inginnya kamu seperti begini begitu”, “saya maunya saya nanti bisa begini begitu”, dan seterusnya.

Mengapa sih manusia sering memiliki ekspektasi? Pada dasarnya, ekspektasi itu adalah sesuatu yang lumrah dimiliki individu, manusiawi. Hal itu tidak lain karena kita memiliki kecenderungan bahwa opini atau pendapatnya paling benar, dan lebih suka memercayainya. Nah, hal ini dapat memungkinkan kita memiliki ekspektasi pada berbagai hal.

Sayangnya, seringkali ekspektasi ini kemudian menjadi belenggu yang seakan menggembok cara berpikir kita. Semacam mental block begitu, blok mental yang dapat menghambat pikiran kita untuk dapat bergerak maju. Jika ekspektasi tidak sesuai realita, maka kita akan cenderung putus asa, karena situasinya tidak sesuai dengan standar yang kita bayangkan, yang pada akhirnya dapat mengungkung pikiran dan perasaan kita. Berbeda dengan harapan. Harapan mampu mengubah keputusasaan kita menjadi sebuah tekad. Nantinya hal ini dapat membuka pikiran kita untuk terus maju.

Lantas, apakah kemudian kita sama sekali tidak boleh memiliki ekspektasi? Tentunya bukan berarti kita tidak boleh memiliki ekspektasi. Hal yang penting adalah bagaimana kemudian kita perlu belajar mengelola ekspektasi. Bagaimana kemudian kita belajar untuk menyeimbangkannya dengan harapan dan pemikiran yang logis.

Tentu kita tahu, bahwa dalam hidup ini, kita akan dapat berada pada situasi yang dianggap “menang”, dan juga dapat berada pada situasi yang dianggap “kalah”. Dalam bentuk apapun. Dalam hidup ini kadang kita menang dan kadang kita kalah.  Seringkali banyak orang bersiap untuk menang, namun tidak bersiap untuk kalah. Padahal bisa jadi, ketika Allah Subhanahu wata’ala hadirkan “kemenangan”, kita justru menjadi sombong, berperilaku tidak terkendali. Sementara itu bisa saja, dengan Allah Subhanahu wata’ala hadirkan “kekalahan”, justru kita dapat semakin berkembang, berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

Sebagai muslim, tentunya kita menyadari bahwa semuanya sangat mungkin terjadi dalam kehidupan kita. Kemungkinan gagal maupun berhasil. Jika Allah Subhanahu wata’ala menghendaki, tentunya semua kemungkinan tersebut dapat terjadi. Bukan berarti kita menjadi pribadi yang pesimis. Namun dengan adanya kesadaran bahwa dalam hidup kita akan sangat mungkin untuk berhasil maupun gagal, hal itu akan menjadikan kita pribadi yang bersiap jika kemungkinan buruk atau gagal dapat terjadi, lalu lanjutkan dengan apa yang dapat kita lakukan. Kita tetap mengharapkan yang terbaik, namun juga menyiapkan diri jika skenario terburuk mungkin terjadi.

“Jangan berharap sesuatu terjadi seperti yang kau inginkan. Berharaplah apa yang terjadi sebagaimana mestinya. Maka itu, kau akan bahagia”

(Epictetus)

Lantas, bagaimana caranya kita mengelola ekspektasi? Pada dasarnya, berbicara tentang belajar mengelola ekspektasi itu berarti kita perlu belajar tentang kontrol. Kontrol? Iya, kontrol terhadap diri kita sendiri. Tentunya kita tahu, bahwa dalam hidup ini ada hal yang bisa kita kontrol dan ada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Apa saja hal-hal yang bisa kita kontrol?

Kita hanya bisa mengontrol atau mengendalikan apa yang memang ada dalam kendali kita, seperti pikiran dan tindakan kita sendiri. Termasuk dalam hal yang bisa kita kontrol adalah usaha-usaha yang kita lakukan atau kerahkan. Kemudian apa saja hal-hal yang tidak dapat kita kontrol? Segala sesuatu yang berada di luar pikiran dan tindakan kita, itu tidak dapat kita kontrol. Segala hal eksternal yang itu semua berada di luar kendali kita. Hal yang bisa kita kendalikan bukanlah hal eksternal itu, namun penilaian kita terhadap hal-hal eksternal.

“It is not things that disturb us, but our opinion about them”

(Henry Manampiring)

Seringkali kita marah, kesal, sedih, atau kecewa, bukan karena sesuatu hal atau peristiwa itu yang mengganggu kita, namun karena penilaian kita sendiri atas peristiwa tersebut yang menjadikan kita marah atau sedih. Semakin kita mencoba mengendalikan apa yang ada di luar kita, maka kita akan semakin frustasi, kecewa, dan sakit hati.

Sama halnya dengan tujuan yang kita buat. Jika kita membuat tujuan yang menggantungkan hasilnya pada perubahan perilaku orang lain, itu adalah tujuan yang paling rawan menimbulkan frustasi dan kekecewaan. Kita sangat bisa mengendalikan respon yang akan kita berikan terhadap peristiwa yang terjadi di luar diri kita. Bagaimana respon kita, itu tergantung dari makna yang kita buat secara internal. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, seperti pengetahuan, nilai, keyakinan, ataupun ingatan yang kita miliki.

Belajar mengelola ekspektasi, itu artinya kita belajar untuk mengendalikan pikiran kita sendiri. Kita bertanggung jawab sepenuhnya atas pikiran kita sendiri. Demikian pula pada hasil yang berbentuk perilaku kita. Oleh karena itu, penting dalam proses kita mengelola ekspektasi, untuk kita belajar dan berlatih mengelola pikiran kita. Dalam hal ini, ada dua bentuk orientasi pikiran yang sering dilakukan individu, yakni results-oriented thinking dan process/performance-oriented thinking.

Pertama, results-oriented thinking merupakan cara kita berpikir yang berorientasi hasil. Hasil ini adalah sesuatu hal yang tidak dapat kita kontrol atau kendalikan. Dengan cara berpikir seperti ini, akan cenderung membuat individu rawan frustasi, karena fokusnya hanya pada hasil. Apabila hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka individu akan mudah frustasi.

Kedua, process/performance-oriented thinking merupakan cara kita berpikir yang berorientasi pada proses atau usaha (kinerja). Proses atau usaha adalah sesuatu yang dapat kita kendalikan. Berpikir dengan orientasi pada proses akan lebih mudah dalam pengendalian ekspektasi, karena yang kita kendalikan adalah sesuatu hal yang memang bersifat controllable, yakni usaha atau kinerja kita.

Dalam melakukan sesuatu, yang bisa kita kendalikan adalah usaha kita. Hasilnya? Tidak bisa kita kendalikan. Kita hanya perlu fokus pada apa yang bisa kita kendalikan. Tetap berusaha dan bekerja sebaik mungkin, semaksimal mungkin. Jika nantinya berhasil, bersyukur. Jika belum, tidak perlu menghabiskan waktu dengan mengeluh dan menyesali apa yang terjadi.

Belajar mengelola ekspektasi, itu berarti juga kita belajar untuk berikhtiar dan bertawakal. Kita perlu memupuk sikap untuk terus berikhtiar dan bertawakal. Tawakal itu artinya menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada Allah subhanahu wata’ala. Sementara ikhtiar itu artinya kerja keras dan usaha maksimal yang kita kerahkan. Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar).

Bukan tawakal namanya jika hanya pasrah menunggu nasib tanpa melakukan apa-apa dan sekedar berpangku tangan. Sebagaimana sabda Rasulullah sholallahu’alaihi wassalam mengenai tawakal:

“Jika saja kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan apa sepenuh hati niscaya Allah akan memberi rezeki untukmu sekalian, sebagaimana Ia memberinya kepada burung, burung itu pergi dalam keadaan lapar, dan pulang dalam keadaan kenyang”

(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnatullah tentang hukum sebab dan akibat. Usaha harus selalu dilakukan, tidak hanya sekedar berpangku tangan. Tawakal harus diawali dengan ikhtiar. Namun meskipun kita diminta untuk berikhtiar sebelum bertawakal, kita tidak boleh bertawakal kepada ikhtiar.

Sebab akibat memang sunnatullah. Belajar adalah sebab untuk mendapatkan ilmu, berobat adalah sebab untuk sehat. Tetapi bukan sebab yang semata-mata menimbulkan akibat. Misal, ada dua pasien dokter yang punya penyakit sama, diberi obat yang sama, namun yang satu hidup dan yang satu meninggal.

Meskipun bukan sebab saja yang menimbulkan akibat, namun sebab tidak boleh dilupakan. Allah subhanahu wata’ala meminta kita untuk mengusahakan sebab, dan menyerahkan hasilnya kepada Allah. Usaha tanpa pertolongan Allah bisa sia-sia. Penting bagi setiap muslim untuk tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada ikhtiar, tanpa memasrahkannya kepada Allah, karena sikap seperti itu akan mendatangkan kesombongan. Na’udzubillahi min dzalik.

“Sesungguhnya, Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan tercerai berai”

(QS. At-Taubah [9]: 25)

Sekali lagi, Allah memerintahkan kita untuk berikhtiar, namun kita tidak boleh bertawakal pada ikhtiar yang kita lakukan. Tawakal kita hanya kepada Allah semata. Dengan sikap tawakal ini, akan membawa kita pada ketenangan hati. Karena sekalipun kita sudah berusaha dengan sungguh-sungguh, jika nantinya masih mengalami kegagalan, kita tidak akan berputus asa, kita tidak akan frustasi, kecewa, dan bersedih.

Kita akan belajar untuk menerima hal tersebut sebagai suatu ujian, musibah, atau tantangan dari Allah, dan kita belajar bersabar karenanya. Dan jika sekiranya ada keberhasilan, kita akan belajar bersyukur kepada Allah, tidak sombong dan membanggakan diri, karena kita harus yakin bahwa semua usaha yang kita kerahkan tidak akan berhasil tanpa izin Allah subhanahu wata’ala. Jika gagal kita bersabar, jika berhasil kita bersyukur.

Sikap tawakal akan membantu kita untuk bersiap menghadapi apa yang akan terjadi pada diri kita, menang atau kalah, berhasil atau gagal. Kita akan belajar menghadapi masa depan tanpa rasa takut dan cemas. Hal yang penting adalah kita berusaha sekuat tenaga, berusaha semaksimal mungkin, hasilnya kita serahkan kepada Allah. Dan yang paling penting juga bahwa orang yang bertawakal akan dilindungi oleh Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah:

“…dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” 
(QA. At-Thalaq [65]: 3)

Dengan demikian, apa yang kita lakukan jika pada akhirnya kita mengalami kegagalan atau kekalahan? Atau saya lebih suka menyebutnya, belum berhasil? Banyak hal yang bisa kita lakukan, diantaranya adalah: 1) Baik sangka kepada Allah, karena semua hal yang terjadi pasti ada alasan (hikmah)nya; 2) Terima dan cintai situasi yang terjadi. Ubah setiap kesulitan menjadi bahan bakar untuk kita menjadi manusia yang lebih baik; 3) Ambil pelajarannya, introspeksi diri, memperbaiki diri, bertumbuh, berkembang menjadi lebih baik; 4) Bangkit dan coba lagi, jangan takut untuk memulai lagi, 5) Yakinlah bahwa kita tidak memulai lagi dari nol, namun kita memulainya dengan berbekal pengalaman.

Sebagai catatan paling penting adalah ketika kita mengalami kekalahan atau kegagalan, jangan sekalipun bagi kita menyerah dan berputus asa, seperti yang Allah firmankan:

“Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf  dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir”

(QS. Yusuf [12]: 87)

Bagaimana, sudahkah kita menjadi pribadi yang tidak hanya siap untuk menang (berhasil), namun juga siap untuk kalah (gagal)? Insya Allah, kita akan terus belajar menjadi pribadi yang senantiasa siap menghadapi situasi dan kondisi apapun, karena kita yakin bahwa Allah senantiasa memberikan rizki kepada para hamba-Nya dalam bentuk apapun, jika kita terus berusaha dan bertawakal. Allahu’alam bish showab.