Bersuci Bagi Orang dengan Kondisi Fisik yang Tak Sempurna

Oleh : Ajeng Putri Andani—-

Nama Abu Qilabah tidaklah asing bagi umat Islam, beliau merupakan salah seorang dari ahli ibadah dan ahli zuhud, juga salah satu sahabat Nabi SAW yang paling banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi Muhmmad SAW. Nama asli beliau adalah Abdullah bin Zaid al Jarmi dan berasal dari Bashroh. Abu Qilabah mempunyai kisah hidup yang menakjubkan, beliau adalah sahabat Nabi yang tidak memiliki kaki dan tangan, pendengarannya pun sudah lemah dan penglihatannya sudah rabun (almanhaj.or.id).

Abu Qilabah sangat mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, tidak pernah sekalipun beliau mengeluh dengan keadaan yang menimpanya justru keterbatasan membuatnya mengerti arti syukur dan sabar yang sesungguhnya. Dikutip dari almanhaj.or.id ketika Abdullah bin Muhammad menemuinya, Abu Qilabah tanpa henti berucap:

“Ya, Allah. Tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu, sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan Engkau sungguh telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan”

Meski memiliki kondisi fisik yang tidak sempurna, Abu Qilabah senantiasa melaksanakan ibadah-ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT dan tidak pernah melanggar segala hal yang dilarang-Nya hingga akhir hayatnya.

Kisah seperti Abu Qilabah juga sering ditemui dimasa kini, banyak muslim yang memiliki fisik tidak sempurna tetapi tetap berusaha maksimal melaksanakan perintah Allah SWT. Bahkan tidak jarang ditemukan muslim dengan keterbatasan fisik jauh lebih istiqomah dalam melakukan ibadah, seperti sholat berjamaah di masjid, membaca Al-Qur’an hingga pergi haji atau umroh.

Keterbatasan fisik tidak menjadi halangan untuk seorang hamba melaksanakan ibadah dengan sempurna.  Lantas bagaimana muslim dengan keterbatasan fisik melaksanakan ibadah seperti ibadah sholat yang mengharuskan berwudhu? Bagaimana tata cara wudhu bagi muslim yang fisiknya tidak sempurna, seperti tidak memiliki tangan dan kaki?

Wudhu menempati posisi yang vital dan fundamental dalam sholat, bahkan seorang hamba yang sholat dalam keadaan berhadast tidak akan diterima amalan sholatnya hingga ia mensucikan diri. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak menerima shalat salah seorang kamu bila berhadats sampai ia berwudlu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana syarat wajib sholat, kewajiban berwudhu juga berlaku bagi seluruh muslim yang memenuhi kriteria mumayyiz yakni bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Artinya muslim yang sudah baligh dan mumayyiz mempunyai kewajiban sholat dan kewajiban wudhu, terlepas dari keadaan fisiknya yang sempurna atau tidak.

Di antara rukun wudhu adalah membasuh wajah, membasuh kedua tangan hingga ke siku dan membasuh sebagian kepala. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al Maidah berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” (QS. Al Maidah [5]: 6)

Tentunya rukun wudhu ini akan mudah dilakukan bagi orang yang anggota tubuhnya lengkap dan sempurna, namun berbeda dengan orang yang mempunyai keterbatasan fisik, seperti tidak mempunyai tangan atau kaki atau tidak mempunyai keduanya. Pergerakan orang yang tangan atau kakinya tidak sempurna lebih terbatas terutama saat membasuh muka, membasuh kedua tangan hingga ke siku dan membasuh sebagian kepala.

Para ulama membagi bagian wudhu bagi orang yang tangannya tidak sempurna menjadi dua jenis:

Pertama, apabila seseorang yang tangannya tidak sempurna tetapi masih mempunyai anggota tangan yang tersisa maka wajib membasuh apa yang tersisa dari tangannya meskipun anggota tangan yang tersisa itu berada di atas siku. Dalam rukun wudhu memang diharuskan membasuh anggota tangan dari ujung jari-jari hingga ke siku, namun terdapat pengecualian bagi orang yang tangannya tidak sempurna. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Islam Abi Yahya Zakariya al-Ansori dalam kitab Fathul Wahab berikut ini:

“jika terputus sebagian tangan maka wajib) membasuh apa yang tersisa darinya karena kemudahan tidak menjatuhkan kesulitan, (atau dari kedua sikunya) karena tempat tulang lengan dan tersisa dua tulang yang dinamakan dengan kepala lengan bagian atas, (kepala) lengan bagian atas wajib membasuhnya karena termasuk bagian siku”

Kedua, apabila seseorang mempunyai anggota tangan yang tumbuh tidak pada tempatnya, seperti tumbuhnya siku atau jari-jari yang tidak pada tempatnya namun bisa diibaratkan seperti tumbuhnya tangan dari kepala jari-jari hingga ke bahu, dan apabila ukurannya sampai tiga per empat maka wajib dibasuh. Sedangkan bagi seseorang yang tidak mempunyai tangan dan tidak tersisa anggota tangannya sama sekali maka tidak wajib membasuhnya. Hal ini sebagaimana dijelasakan oleh Syaikh Ibrahim al-Bujairami dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri berikut ini:

“(perkataannya apabila ia tidak memilki kedua siku…) awalnya telah tiada dan perkiraannya seperti ini, jika ia memilikinya walaupun bukan ditempatnya kecuali pada tempatnya, dan perkataannya dianggap kadar keduanya atau kadar tempat keduanya yang diciptakan dengan adil, sepadan dengan diibaratkan seperti tangan yang diciptakan dengan adil dari kepala jari-jari sampai ke bahu kemudian dari kepala jari-jari sampai ke siku, maka sesuatu yang ukurannya sampai tiga per empat maka wajib dibasuh, seseorang yang kehilangan kedua sikunya dan siku tambahan sampai ke bahu tidak wajib membasuhnya

Selain membasuh tangan, bagi orang yang fisiknya tidak sempurna, membasuh wajah dan membasuh kepala tentunya menjadi hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Pada beberapa peristiwa seringkali terjadi seorang muslim dengan kondisi fisik terbatas yang hendak wudhu dibantu oleh mulsim lainnya, seperti bantuan ringan yaitu menyalakan dan mematikan keran hingga bantuan meratakan air kewajahnya dan mengusapkan air kesebagian kepalanya.

Tentu ini merupakan pemandangan yang harmonis untuk dilihat dan sangat memudahkan muslim dengan fisik yang tidak sempurna, namun Rasulullah SAW hanya memperbolehkan meminta pertolongan saat wudhu ketika sedang sakit saja dan karena sakitnya ia tidak mampu bangun, selebihnya meminta pertolongan saat wudhu selain adanya uzur sakit dinilai merupakan bentuk kesombongan yang tidak pantas untuk dilakukan dan dihukumi makruh. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu berikut ini:

“Meniadakan meminta tolong kepada orang lain kecuali adanya udzur, seperti meminta tolong untuk meratakan anggota badan dan yang semisal, karena wudhu itu adalah pekerjaan yang paling banyak dikerjakan oleh Rasulullah SAW, karena meminta tolong untuk berwudhu itu merupakan bentuk kemewahan dan kesombongan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang hamba, kemudian pahala diberikan sesuai dengan kadar bagian amal yang mereka lakukan dan meminta pertolongan ketika berwudhu hukumnya khilaful aula, dikatakan makruh. ketika ada udzur ketika sakit maka diperbolehkan, dan Rasulullah SAW telah memperbolehkannya dengan dalil dari Mughirah bin Syu’bah, “Sesungguhnya dia bersama Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan, kemudian Rasulullah SAW membutuhkannya ketika wudhu. Kemudian ketika Rasul berwudhu Mughrirah mertakana air kepada bagian anggota wudhu Rasul. Mughirah membasuk wajah rasul dan tangannya, mengusap sebagian kepala  dan muzah Rasul”. Sufyan bin Asal juga berkata “Aku meratakan air kepada Rasulullah SAW ketika dalam perjalanan ketika beliau berwudhu”. Dan dua hadist ini menunjukkan bolehnya wudhu dengan bantuan orang lain, begitu juga orang-orang hanabalah juga diperbolehkan”

Jika seseorang dengan kondisi fisik tidak sempurna sangat kesulitan untuk melakukan wudhu dan tidak ingin dibantu oleh orang lain sebab takut menjadi kesombongan dengan mengistimewakan diri dalam ibadah, maka bisa dengan cara menceburkan anggota wudhu ke dalam air yang memenuhi syarat untuk bersuci. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibrahim al-Bujairami dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri berikut ini:

“Perkataan mushannif (pengarang kitab) ghaslu (membasuh), maksudnya adalah terbasuh meskipun bukan dengan perbuatannya sendiri. Bahkan jika menyelam di dalam air kemudian niat berwudhu, maka wudhunya dinilai cukup (sah).”

Dari Penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa seorang hamba yang memiliki keterbatasan fisik, tetap harus membasuh anggota badan lainnya dengan sempurna ketika wudhu, baik sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Namun, apabila seseorang kehilangan tangannya dari ujung jari-jari hingga ke bahu dan tidak ada anggota tangan yang tumbuh tidak pada tempatnya maka tidak wajib dibasuh. Dalam hal meminta pertolongan orang lain ketika berwudhu hukumnya ada dua, yang pertama makruh karena termasuk kesombongan hamba dalam beribadah. kedua, berdasarkan hadist dari Mughirah bin Syu’bah dan Sufyan bin ‘Asal, Rasulullah SAW membolehkan seseorang berwudhu dengan bantuan orang lain, karena adanya uzur seperti sakit.

Referensi:

al-Ansori, Syaikh al-Islam Abi Yahya Zakariya. (1520). Fathul Wahab.

al-Bujairami, Syaikh Ibrahim. (1806). Hasyiyah al-Bajuri.

Az-Zuhaili Wahbah. 1984. Al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu. Damaskus : Darul Fikr.

Abu Qilabah, Mengajarkan Sabar Dan Syukur Kepada Allah. Diakses pada Juni 2, 2022. Diakses dari https://almanhaj.or.id/3761-abu-qilabah-mengajarkan-sabar-dan-syukur-kepada-allah.html

Suyadi, D. (2013, Juni 3). Fawaaid Hadits Ke-2 Kitab Umdhatul Ahkam. Diakses pada Juni 2, 2022. Diakses dari https://muslim.or.id/8971-fawaaid-hadits-ke-2-kitab-umdhatul-ahkam.html