Prodi HI Gelar ICOSEAS

“Undoubtedly, Indonesia,  being  the  biggest and  the  most populous country  in  the  region  is  perceived as a natural  de  facto leader  of  ASEAN. Since ASEAN’s  inception in 1967  until  nowadays,  Indonesia  has  played  very  important  role  in  the  solution of  various problems that it  faces both internally  and  vis  a  vis  the  external  powers”. Demikian ungkap Drs. Mr.H.E. Haryomo Hartosudarmo, anggota Satuan Tugas Diplomasi Ekonomi Kemenlu RI saat tampil sebagai keynote speaker di sesi Open Lectures  gelaran ICOSEAS (International Conference on South East Asian Studies) yang diselenggarakan oleh Prodi Hubungan Internasional-HI, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya-FPSB, Universitas Islam Indonesia (UII), di Auditorium Abdul Kahar Muzakir Kampus Terpadu UII, Jum’at, 4 Desember 2015 M/22 Safar 1437 H.  
 
Lebih jauh, sosok yang pernah menjadi duta besar RI untuk Brazil tersebut menyampaikan flash back atau pun sejarah awal peran aktif Indonesia di kawasan ASEAN dan juga mengkritisi kebijakan pemerintah terkait peran Indonesia di kawasan ASEAN saat ini. 
“To  conclude  my remarks,  allow  me to  make  a  very  brief  summary  as  follows: (i) for  Indonesia, ASEAN  Community  with  its  3  pillars  has  been  an evolutionary  process,  for  which  Indonesia’s  readiness  to  cope with will  heavily   depend    on  its competitiveness; (ii) President Joko  Widodo’s pro-people diplomacy should  not be  narrowly  interpreted into  Indonesia’s disengagement from international  arena. Instead, Indonesia would  remain actively  engage  in  various world  issues and  tries  to  significantly  contribute  for  their  solution”, pungkasnya. 
Sementara Prof. V. Bob Sugeng Hadiwinata, Ph.D dari Universitas Katolik Parahyangan mengkhawatirkan adanya pesimisme atas pembentukan AEC/MEA dari sisi akademis dan penelitian dengan menyampaikan materi berjudulASEAN: a Misconstrued Regionalism”. 
“This paper finds out that one of the factors that has generated pessimism of ASEAN is ‘the functionalist trap’, namely the tendency of academics and researchers to use functionalism in discussing about regionalism in many lectures, academic papers, journal articles and books that make audience develop high expectations and make comparison between ASEAN and its successful counterpart in Europe. When they realize that ASEAN could not deliver many things as the European Union did, the feeling of frustration and disappointment start to mount. As a result some people begin to think that ASEAN is no longer relevant”, paparnya. 
Pembicara lain yang turut mengkaji isu-isu seputar ASEAN dalam Open Lectures ICOSEAS yang dimoderatori oleh Ketua Prodi HI, Irawan Jati, S.IP., M.Hum., M.S.S., tersebut adalah Dr. Dafri Agussalim, MA (Kepala Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada), Prof. Nopraenue Dhirarithiti (Mahidol University, Thailand) dan Rene L. Pattiradjawane (jurnalis senior KOMPAS, pendiri Kompas.Com dan Detik.Com). 
Usai penyelenggaraan open lectures, agenda berlanjut dengan penyelenggaraan conference yang dibagi dalam 2 cluster. 

ICOSEAS Kaji Isu ASEAN

“Undoubtedly, Indonesia,  being  the  biggest and  the  most populous country  in  the  region  is  perceived as a natural  de  facto leader  of  ASEAN. Since ASEAN’s  inception in 1967  until  nowadays,  Indonesia  has  played  very  important  role  in  the  solution of  various problems that it  faces both internally  and  vis  a  vis  the  external  powers”. Demikian ungkap Drs. Mr.H.E. Haryomo Hartosudarmo, anggota Satuan Tugas Diplomasi Ekonomi Kemenlu RI saat tampil sebagai keynote speaker di sesi Open Lectures  gelaran ICOSEAS (International Conference on South East Asian Studies) yang diselenggarakan oleh Prodi Hubungan Internasional-HI, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya-FPSB, Universitas Islam Indonesia (UII), di Auditorium Abdul Kahar Muzakir Kampus Terpadu UII, Jum’at, 4 Desember 2015 M/22 Safar 1437 H.  
 
Lebih jauh, sosok yang pernah menjadi duta besar RI untuk Brazil tersebut menyampaikan flash back atau pun sejarah awal peran aktif Indonesia di kawasan ASEAN dan juga mengkritisi kebijakan pemerintah terkait peran Indonesia di kawasan ASEAN saat ini. 
“To  conclude  my remarks,  allow  me to  make  a  very  brief  summary  as  follows: (i) for  Indonesia, ASEAN  Community  with  its  3  pillars  has  been  an evolutionary  process,  for  which  Indonesia’s  readiness  to  cope with will  heavily   depend    on  its competitiveness; (ii) President Joko  Widodo’s pro-people diplomacy should  not be  narrowly  interpreted into  Indonesia’s disengagement from international  arena. Instead, Indonesia would  remain actively  engage  in  various world  issues and  tries  to  significantly  contribute  for  their  solution”, pungkasnya. 
Sementara Prof. V. Bob Sugeng Hadiwinata, Ph.D dari Universitas Katolik Parahyangan mengkhawatirkan adanya pesimisme atas pembentukan AEC/MEA dari sisi akademis dan penelitian dengan menyampaikan materi berjudulASEAN: a Misconstrued Regionalism”. 
“This paper finds out that one of the factors that has generated pessimism of ASEAN is ‘the functionalist trap’, namely the tendency of academics and researchers to use functionalism in discussing about regionalism in many lectures, academic papers, journal articles and books that make audience develop high expectations and make comparison between ASEAN and its successful counterpart in Europe. When they realize that ASEAN could not deliver many things as the European Union did, the feeling of frustration and disappointment start to mount. As a result some people begin to think that ASEAN is no longer relevant”, paparnya. 
Pembicara lain yang turut mengkaji isu-isu seputar ASEAN dalam Open Lectures ICOSEAS yang dimoderatori oleh Ketua Prodi HI, Irawan Jati, S.IP., M.Hum., M.S.S., tersebut adalah Dr. Dafri Agussalim, MA (Kepala Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada), Prof. Nopraenue Dhirarithiti (Mahidol University, Thailand) dan Rene L. Pattiradjawane (jurnalis senior KOMPAS, pendiri Kompas.Com dan Detik.Com). 
Usai penyelenggaraan open lectures, agenda berlanjut dengan penyelenggaraan conference yang dibagi dalam 2 cluster. 

Urgensi Perubahan Paradigma dalam Pelaksanaan Orientasi Mahasiswa Baru

Assalamu’alaykum Warahmatullaahi Wabarakaatuh. Saya mengawali tulisan di kolom Refleksi ini dengan mengatakan bahwa: pelaksanaan orientasi mahasiswa baru perlu perubahan paradigma yang holistik dengan membangun kesepahaman yang menekankan itikad baik.

10 Desember 2015 kemarin, penulis diundang Direktorat Pengembangan Bakat Minat dan Kesejahteraan Mahasiswa (DPBMKM) Universitas Islam Indonesia dalam acara Sarasehan Bidang Kemahasiswaan UII. Pada acara itu, di sesi ke-3, penulis diberi amanat untuk menyampaikan materi tentang Evaluasi dan Desain Ulang PESTA dan PEKTA UII. Kegiatan ini diikuti oleh pimpinan-pimpinan UII dan juga pimpinan lembaga kemahasiswaan di tingkat Universitas dan fakultas.

 

Antusias. Itu adalah kesan yang penulis dapat pasca mengisi acara itu. Wajar. Hal itu karena jika kita melihat fenomena dan kondisi orientasi mahasiswa baru beberapa tahun terakhir di kampus UII ini, memang ada yang perlu dibenahi.

Pelaksanaan orientasi mahasiswa baru di kampus ini, atau yang sering kita kenal dengan nama PESTA (Pesona Ta’aruf Mahasiswa) dan PEKTA (Pekan Ta’aruf Mahasiswa) masih menekankan senioritas-junioritas yang berlebihan dan tindakan kurang berkenan lainnya. Tindakan itu terjadi karena kekeliruan dalam memahami nilai-nilai penting dan luhur dari kata “orientasi” itu sendiri. Tak jarang beberapa mahasiswa baru mengeluh karena tindakan senior tidak nyaman di hati mereka.

Kegiatan PEKTA dan PESTA adalah “gerbang” pertama bagi mahasiswa baru yang notabene adalah masih pelajar SMA ini. Tindakan seperti bentak-bentak yang katanya untuk melatih mental mahasiswa baru agar tidak cengeng atau agar antara junior dan senior lebih akrab, sebenarnya, bisa diubah menjadi kegiatan yang lebih humanis. Kita sepakat bahwa kegiatan orientasi mahasiswa baru pada dasarnya bertujuan baik yaitu menyambut mahasiswa baru supaya cepat beradaptasi dengan kampus baru dan berbagai kegiatan akademiknya.

Sangat ironis memang jika yang dimaksud orientasi mahasiswa tidak menunjukkan sisi humanisnya. Sangat disayangkan jika kegiatan orientasi mahasiswa justru memberikan bekas negatif bagi calon intelektual muda UII.

Ketika terbangun kesepahaman yang menganggap mahasiswa baru sebagai keluarga baru, yang disambut dengan penuh keakraban, maka kegiatan orientasi, penulis yakin, akan jauh dari kesan negatif.  

PERLU KESAN POSITIF DAN MENCERAHKAN

Kegiatan orientasi mahasiswa baru perlu memberikan kesan positif dan mencerahkan, dengan cara-cara yang positif, dan ini yang paling penting: jangan sampai memunculkan trauma, pasca kegiatan orientasi mahasiswa baru. Kegiatan orientasi mahasiswa baru perlu sejajar dan searah dengan visi-misi serta nilai-nilai Universitas Islam Indonesia: rahmatan lil ‘alamin.

Hasil survey kegiatan SERUMPUN (Semarak Ta’aruf Penuh Makna)—kegiatan orientasi mahasiswa baru di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII)—4 tahun terakhir dengan subjek mahasiswa FPSB UII angkatan 2010 s.d 2013 menujukkan beberapa harapan bahwa mahasiswa membutuhkan konsep dan tujuan orientasi yang jelas. Berikut penulis kutipkan beberapa pernyataan dari subjek secara kualitatif:

“Konsep harus jelas, tujuan Serumpun harus diperjelas. Jujur saja banyak senior yang tidak konsisten dengan yang dibicarakan dan tidak bisa memberi contoh dan itu membuat saya heran. Saya masih mendapat kontak fisik dicaci. Semoga ada evaluasi besar-besaran dalam pembuatan konsep acara dan peserta jelas mengetahui alasan serumpun itu”.

“Atribut yang diperintahkan aneh: (1) Mengharuskan merk tertentu dan kami tidak merasakan kebermanfaatan produk tersebut, (2) Menambah sampah plastik (air mineral dalam kemasan). Mahasiswa baru bisa diminta mulai cinta lingkungan.”

“PDL bagus untuk mempercepat saat merapikan barisan namun atribut yang diwajibkan untuk maba-miba (syar’i dan tidak dandan) sebaiknya diterapkan juga pada panitia. Manusia lebih mudah mencontoh”.

“Seluruh panitia wajib meneken kontrak dengan fakultas untuk sanggup memberi contoh kepada maba bahwa mereka bisa jadi panutan dalam mencontohkan nilai-nilai Islam terutama nilai-nilai BERIBADAH. Jadi tidak ada panitia yang ketika waktu shalat masih nongkrong-nongkrong santai sampai waktu shalat selanjutnya masuk lagi.”

“Budaya senioritas saat menyambut mahasiswa baru harus dihilangkan. Tidak ada lagi tugas yang dapat melukai harga diri seseorang. Lebih baik diisi dengan kegiatan-kegiatan positif, misalnya setiap anak/kelompok anak membuat satu kegiatan yang bisa membahagiakan orang lain di sekitar kampus”

“Tidak perlu harus dibentak untuk menertibkan anak-anak berusia 17 tahun ke atas.”

“Susunan rundown dalam kegiatan Serumpun lebih diprioritaskan yang bermanfaat dan untuk kebutuhan mahasiswa baru”

Masih mengacu pada hasil survey di atas, dari sisi konten materi, mahasiwa baru membutuhkan beberapa materi sebagai berikut: 1) Motivasi untuk belajar di Perguruan Tinggi (sangat penting 73% dan sangat dibutuhkan 57%), 2) Memiliki keterampilan belajar (sangat penting 57% dan sangat dibutuhkan 41%), 3) Memiliki keterampilan yang mendukung penyesuaian diri di lingkungan (sangat penting 51%dan sangat dibutuhkan 43%), 4) Memiliki kesadaran bermasyarakat (sangat penting 73% dan sangat dibutuhkan 57%). Beberapa usulan rancangan program orientasi mahasiswa baru sebagaimana direkomendasikan oleh Tim Evaluasi SERUMPUN FPSB UII adalah perlu adanya program survival skills dengan konten utama antara lain: 1) Motivasi belajar, 2) Keterampilan belajar, dan 3) Keterampilan hidup.

Pertanyaan sekarang adalah bagaimana mendesain ulang orientasi mahasiswa baru?

Komunikasi dan Komitmen

Kita bisa mulai dengan cara mengkomunkasikan terlebih dahulu ke pihak-pihak terkait yaitu lembaga mahasiswa, mahasiswa, orangtua mahasiswa, pimpinan universitas, fakultas, program studi, dosen, dan karyawan. Semua harus terlibat. Setelah itu baru kemudian kita komitmen untuk menjalankannya. Tahapan yang perlu dilakukan secara garis besar, yaitu: Pertama, melakukan curah gagasan terhadap pelaksanaan orientasi mahasiswa baru selama ini, baik yang bersifat evaluatif maupun ide untuk perbaikan di tahun-tahun berikutnya. Sebagai hasil akhir dari curah gagasan tersebut, diperlukan komitmen tertulis dari lembaga mahasiswa, orangtua mahasiswa, pimpinan universitas, fakultas, dan prodi sebagai bentuk dukungan untuk meningkatkan kualitasi orientasi mahasiswa baru. Kedua, menganalisis kebutuhan pelatihan terkait orientasi mahasiswa baru sehingga diperoleh materi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan peserta maupun visi, misi, dan nilai-nilai di UII. Ketiga, menyusun modul yang akan dipakai untuk orientasi mahasiswa baru di tahun 2016, termasuk mempersiapkan lokasi dan pematerinya; serta melakukan uji coba modul. Keempat, melakukan sosialisasi modul, terutama kepada panitia dan dosen. Kelima, melaksanakan orientasi mahasiswa baru dengan desain baru, termasuk pengukuran sebelum dan setelah kegiatan (pre and posttest). Keenam, mengevaluasi secara komprehensif pelaksanaan Orientasi Mahasiswa Baru 2016, termasuk merekomendasikan ide-ide inovatif untuk tahun-tahun yang akan datang.

Menutup tulisan ini, penulis ingin mengajak semua pembaca, terutama para pemangku kepentingan, baik dari tingkat lembaga, program studi, fakultas, sampai universitas: mari kita kawal bersama-sama perubahan dan tradisi pelaksanaan Orientasi Mahasiswa Baru UII ini supaya ke depan, kampus perjuangan ini tidak hilang sisi rahmatan lil ‘alamin-nya. Kita ciptakan nuansa kegiatan orientasi mahasiswa baru yang lebih akrab, lebih memanusiakan manusia, dan lebih mampu meninggalkan kesan positif bagi mahasiswa baru UII. Itulah orientasi mahasiswa baru yang sesuai syariat Islam. Bukankah yang tercantum dalam Hymne UII adalah: “Syariat Islam amalan kita…”? Itu. Bagaimana menurut anda?

Penulis: 

Dr.rer.nat. Arief Fahmie, S.Psi., M.A, Psikolog

Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia

ICOSEAS Kaji Isu Seputar ASEAN

“Undoubtedly, Indonesia,  being  the  biggest and  the  most populous country  in  the  region  is  perceived as a natural  de  facto leader  of  ASEAN. Since ASEAN’s  inception in 1967  until  nowadays,  Indonesia  has  played  very  important  role  in  the  solution of  various problems that it  faces both internally  and  vis  a  vis  the  external  powers”. Demikian ungkap Drs. Mr.H.E. Haryomo Hartosudarmo, anggota Satuan Tugas Diplomasi Ekonomi Kemenlu RI saat tampil sebagai keynote speaker di sesi Open Lectures  gelaran ICOSEAS (International Conference on South East Asian Studies) yang diselenggarakan oleh Prodi Hubungan Internasional-HI, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya-FPSB, Universitas Islam Indonesia (UII), di Auditorium Abdul Kahar Muzakir Kampus Terpadu UII, Jum’at, 4 Desember 2015 M/22 Safar 1437 H.  
Lebih jauh, sosok yang pernah menjadi duta besar RI untuk Brazil tersebut menyampaikan flash back atau pun sejarah awal peran aktif Indonesia di kawasan ASEAN dan juga mengkritisi kebijakan pemerintah terkait peran Indonesia di kawasan ASEAN saat ini. 
“To  conclude  my remarks,  allow  me to  make  a  very  brief  summary  as  follows: (i) for  Indonesia, ASEAN  Community  with  its  3  pillars  has  been  an evolutionary  process,  for  which  Indonesia’s  readiness  to  cope with will  heavily   depend    on  its competitiveness; (ii) President Joko  Widodo’s pro-people diplomacy should  not be  narrowly  interpreted into  Indonesia’s disengagement from international  arena. Instead, Indonesia would  remain actively  engage  in  various world  issues and  tries  to  significantly  contribute  for  their  solution”, pungkasnya. 
Sementara Prof. V. Bob Sugeng Hadiwinata, Ph.D dari Universitas Katolik Parahyangan mengkhawatirkan adanya pesimisme atas pembentukan AEC/MEA dari sisi akademis dan penelitian dengan menyampaikan materi berjudulASEAN: a Misconstrued Regionalism”. 
“This paper finds out that one of the factors that has generated pessimism of ASEAN is ‘the functionalist trap’, namely the tendency of academics and researchers to use functionalism in discussing about regionalism in many lectures, academic papers, journal articles and books that make audience develop high expectations and make comparison between ASEAN and its successful counterpart in Europe. When they realize that ASEAN could not deliver many things as the European Union did, the feeling of frustration and disappointment start to mount. As a result some people begin to think that ASEAN is no longer relevant”, paparnya. 
Pembicara lain yang turut mengkaji isu-isu seputar ASEAN dalam Open Lectures ICOSEAS yang dimoderatori oleh Ketua Prodi HI, Irawan Jati, S.IP., M.Hum., M.S.S., tersebut adalah Dr. Dafri Agussalim, MA (Kepala Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada), Prof. Nopraenue Dhirarithiti (Mahidol University, Thailand) dan Rene L. Pattiradjawane (jurnalis senior KOMPAS, pendiri Kompas.Com dan Detik.Com). 
Usai penyelenggaraan open lectures, agenda berlanjut dengan penyelenggaraan conference yang dibagi dalam 2 cluster. 

Prof Sawitri : Koruptor itu Psikopat !

“Setiap orang punya kegilaan (baca: sisii gila) masing-masing. Tidak ada orang yang 100% sehat secara mental. Termasuk saya. Hanya saja, kapan, dimana, dengan siapa kita memberitahukan/menunjukkan kegilaan itu yang membutuhkan sebuah pengendalian/ keterampilan. Nah, psikopat merupakan seseorang yang tidak bisa mengendalikan kegilaannya tersebut. Orang Psikopat tidak akan merasa bersalah atas kesalahan dan kekeliruan yang dilakukannya. Psikopat biasanya memiliki kognitif yang baik. Mereka cerdas. Kecerdasannya itu yang mereka pakai untuk menutupi perilaku (psikopat) dia. Koruptor menurut saya masuk dalam kategori psikopat. Mereka (baca: sebelum melakukan korupsi) sudah tahu bahwa banyak koruptor yang dihukum, tapi mereka tetap saja mau melakukan korupsi yang dikarenakan ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan keinginan untuk tidak melakukan korupsi”.  Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psikolog dalam workshop ‘Aplikasi Paradigma Psikopatologi pada Kasus-kasus Klinis di Indonesia’ yang diselenggarakan oleh Program Magister Psikologi Profesi (MAPPRO), Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Jumat-Ahad, 27-29  November 2015.

Selain mengkritisi perilaku koruptif, Guru Besar Psikologi Klinis dan Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Bandung tersebut juga membahas kasus-kasus indikasi psikopat lainnya, yakni kleptomania. Kleptomania merupakan istilah bagi seseorang yang suka mengambil (mengutil) barang milik orang lain, meskipun barang itu tidak terlalu berharga. Menurut dokumen kasus, perilaku ini pernah dilakukan oleh hampir seluruh lapisan usia, baik anak-anak, remaja, dewasa, bahkan orang tua. Pelakunya pun bukan hanya masyarakat biasa, tapi pernah juga dilakukan oleh seorang kepala negara.

Adapun rangkaian lengkap materi yang disampaikan oleh pengasuh Rubrik Psikologi di Harian Kompas dalam agenda workshop selama tiga hari tersebut antara lain adalah gambaran psikopatologi, integrasi psikoanalisa & behavioristik, teknik penyusunan anamnesa eksploratif, bedah kasus, ketrampilan behavioral unit construct, penyusunan paradigma psikopatologi, evaluasi kepribadian berdasarkan paradigma psikopatologi serta pembahasan kasus psikopatologi di Indonesia. Uraian materi disampaikan dalam bagan-bagan yang memudahkan peserta untuk melihat secara menyeluruh sebab akibat yang terjadi pada seseorang yang memiliki problem kejiwaan.

Menurut salah satu peserta sekaligus merangkap sebagai panitia penyelenggara, dengan penyelenggaraan workshop tersebut diharapkan para peserta lebih terampil dalam mengurai masalah psikopatologi pada kasus-kasus klinis.  

Pengenalan Body Mapping dalam Prevensi Sexual Abuse pada Anak

“Akhir-akhir ini semakin marak kejahatan dan eksploitasi terhadap anak seperti kekerasan, bullying, penculikan, penjualan atau yang sering dilihat di media saat ini adalah pelecehan seksual dan pornografi anak. Oleh karenanya anak-anak perlu kita ajari cara-cara melindungi dirinya dari kekerasan tersebut sejak usia dini. Perlu dipahami bahwa tidak ada usia terlalu muda bagi seorang anak anak untuk diperkenalkan dengan upaya perlindungan diri. Idealnya, perlindungan diri mulai dikenalkan pada saat anak berusia 3-5 tahun. Hal ini diperlukan karena pada rentang usia tersebut anak mulai berinteraksi dengan dunia di luar keluarga”. Demikian kiranya pernyataan yang disampaikan Nindyah Rengganis, S.Psi  dari Early Childhood Care and Development Resource Center (ECCD RC) saat menyampaikan materi “Body Mapping : Upaya Membantu Anak Melindungi Diri dari Kekerasan” dalam kolokium yang diselenggarakan oleh Prodi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Senin, 23 November 2015 di R. Auditorium FPSB UII. Acara dimoderatori oleh Resnia Novitasari, S.Psi., MA.

Masih menurut Rengganis bahwasanya cara menarik yang bisa digunakan untuk mengenalkan perlindungan diri kepada anak-anak adalah melalui permainan, lagu, body mapping, atau dengan metode-metode tertentu. Rengganis juga menyampaikan 7 konsep factsheets yang disusun oleh Family Planning Quensland yang perlu diberikan kepada anak dalam rangka menanamkan perlindungan dirinya, seperti harga  diri, asertivitas, kesadaran akan tubuh, memahami  bentuk-bentuk hubungan, memahami aturan tentang sentuhan, memahami perasaan yang muncul, dan mengetahui hal yang harus dilakukan jika aturan tersebut terlanggar.

Adapun metode-metode yang disampaikan kepada peserta kolokium antara lain adalah membiasakan agar anak menyadari tentang haknya, memasukan informasi tentang perlindungan diri dalam kegiatan belajar mengajar, ataupun perlindungan diri dengan melakukan body mapping atau pengenalan terhadap tubuh anak terkait bagian tubuh mana yang boleh disentuh dan yang tidak boleh disentuh oleh orang lain serta memberikan informasi yang diperlukan terkait tentang perlindungan diri, perbedaan gender, dan sebagainya.

Lantas, bagaimana jika kekerasan terhadap anak sudah terjadi?

Jika kekerasan tersebut sudah terjadi, maka Rengganis menyampaikan beberapa hal yang bisa dilakukan, yakni  memenuhi kebutuhan anak akan rasa aman dengan tidak menyalahkan korban atas hal yang sudah terjadi, menghubungi pihak yang berkompeten dalam pendampingan kasus kekerasan seperti FPK2PA  (tiap kabupaten), Rifka Annisa, Rekso Dyah Utami, dan sejenisnya, melakukan intervensi psikologis dan kejiwaan jika diperlukan, melibatkan anak dalam proses penyelesaian kasus, membangun dukungan masyarakat untuk memberikan rasa aman kepada korban dan keluarganya, ikut memantau proses hukum yang diambil dan memberi dukungan psikologis-sosial pada korban jika kasusnya masuk ke ranah hukum, serta menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran bagi seluruh masyarakat dan bukan justeru menutupi.

Kemendikbud RI Fasilitasi Pembuatan Film “Ramuan Ajaib’ .

“Kecenderungan masyarakat pada saat sekarang yang ingin kembali pada bahan obat-obatan alami  merupakan suatu fenomena yang terjadi karena melihat dampak negatif dari efek samping obat-obatan dari bahan kimia. Ramuan pengobatan tradisonal yang telah ada sejak zaman dahulu merupakan warisan yang tak ternilai harganya dan mengandung filosofis hidup tentang bagaimana memanfaatkan alam sebagai pengobatan yang bersahabat. Pola hidup masyarakat modern yang serba instan berdampak pada bermunculannya berbagai penyakit baru dan sering kambuh kembali, kadang kala anti biotik yang kita konsumsi malah semakin membuat penyakit menjadi semakin kebal. Jamu cekok maupun jamu tradisonal lainnya mampu  menjawab persoalan diatas”. Demikian ungkap Marjito Iskandar Tri Gunawan, A.Md, Laboran Prodi Ilmu Komunikasi (ILKOM) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai sutradara film pendek berjudul “Ramuan Ajaib”. Film pendek tersebut berhasil masuk dalam 10 film pendek yang pembuatannya difasilitasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman pada Tahun Anggaran 2015.

Adapun proses seleksi atau tahap kegiatan program Fasilitasi Produksi Film Pendek Fiksi dan Dokumenter Tahun 2015 antara lain adalah proses pendaftaran proposal yang ditutup pada tanggal 23 Agustus 2015, seleksi proposal pada 24-27 Agustus 2015, Pengumuman penerima fasilitasi pada 28 Agustus 2015, proses produksi pada bulan September-Oktober 2015, dan penayangan film di TV pada November 2015.

Menurut Mas Gun (sapaan akrab Marjito Iskandar Tri Gunawan), saat ini sebagian masyarakat dari kota maupun desa di Kota Yogyakarta berbondong-bondong mengkonsumsi jamu. Alasan utama memilih jamu adalah karena biaya yang murah, mudah, cocok serta salah satu cara melestarikan budaya nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan kepada mereka. Namun demikian, ada cara yang khusus yang harus dilewati untuk mengkonsumsi jamu, terutama jamu Cekok. Cara ini bagi sebagian masyarakat, menjadi sebuah tantangan untuk kembali menjadi alami.

“Melalui tradisi minum jamu cekok berarti orang tua turut memperkenalkan produk dalam negeri dan produk leluhur yang diturunkan secara turun temurun kepada anak sejak usia dini”, tambahnya.

Selain ditayangkan di stasiun TV, nantinya hasil karya film fiksi dan dokumenter bertemakan budaya, dan kearifan lokal yang mencerminkan karakter bangsa tersebut akan dikompilasi dan disebarkan ke seluruh SMA/SMK di Indonesia yang memiliki jurusan multimedia ataupun sinematografi.

Laboran Komunikasi Juarai Lomba HUT-POLRI ke-69

Film berjudul Kursi Roda dan Pengabdian garapan (baca: disutradari) laboran Prodi Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Marjito Iskandar Tri Gunawan, A.Md yang dibantu oleh Farid Iskandar (mahasiswa Ilkom)  berhasil meraih penghargaan sebagai film terbaik untuk kategori umum(juara 1-Kategori Umum) dalam lomba “Video Momen Polisiku” bertema “Terima kasih polisiku” yang diselenggarakan dalam rangka HUT Kepolisian Republik  Indonesia (POLRI) ke-69 bekerjasama dengan NET.TV.  Marjito pun berhak memperoleh hadiah berupa tropi, sertifikat dan penghargaan dalam bentuk uang yang dserahkan secara langsung oleh Ka.Polri. Jenderal Pol. Badrodin Haiti pada 19 Oktober 2015 di Gandaria City Jakarta Selatan.    

 

Menurut pemilik sapaan akrab ‘Mas Gun’ ini, lomba diikuti oleh 1.114 karya/video  yang terbagi dalam 3 kategori, yakni  kategori Umum, kategori jurnalis dan mahasiswa. Masing-masing kategori diambil 3 orang pemenang (juara 1, 2 dan  3) dan untuk juara harapan hanya diambil juara harapan 1 & 2 .

“Film ini (baca: Kursi Roda dan Pengabdian)bercerita tentang polisi  yang bertugas di polsek rancaengkek bandung, tetap mengabdi dengan baik ditengah keterbatasan sebagai penyandang diffable. Pembuatan film berlangsung pada bulan Juni-Juli 2015, melibatkan mahasiswa komunikasi UII bernama Farid Iskandar”, ungkapnya.

Selamat atas prestasi yang telah diraih dan kita doakan agar laboran Prodi Ilmu Komunikasi atau yang akrab disapa ‘Mas Gun’ bisa terus berkarya mengukir prestasi. Amiin.

Prodi HI Kaji Pengelolaan Migran dan Pengungsi di Wilayah Asia Tenggara

Managing Human Movement Problems in Southeast Asia: Internally Displaced Persons, Irregular Migrants, and Refugees. Demikian tema besar Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Program Studi Hubungan Internasional (HI) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa, 17  November 2015 dengan menghadirkan HE. Hasan Kleib (Dirjen Multilateral Kemenlu RI) sebagai pemateri.

Dalam paparannya, Hasan Kleib banyak berbagi pengalaman tentang pengelolan migran maupun pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia. Motivasi migraan kebanyakan disebabkan oleh faktor ekonomi. Sedangkan pengungsi banyak dipengaruhi oleh faktor konflik yang terjadi di negara asal. Menurut beliau, menjadi seorang pengungsi yang disebabkan oleh konflik bukanlah sebuah kejahatan internasional, namun jika mengungsi lebih dikarenakan faktor ekonomi dan melalui jasa penyelundupan/ perdagangan manusia, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai kejahatan internasional (international crime)

 

Hasan Kelib menambahkan bahwasannya meski secara administratif (kelengkapan surat menyurat-visa-pasport) para pengungsi tentu akan masuk ke ranah pelanggaran, namun hal itu tidak berlaku jika mereka benar-benar mengungsi akibat kejadian luar biasa di negara asalnya. Untuk penanganannya saat ini ada 3 tindakan yang biasa dilakukan oleh negara-negara tujuan para pengungsi, yakni mengembalikan mereka ke negara asal, mengirimkan mereka ke negara tetangga atau mengintegrasikan mereka sebagai warga negara.

Persoalan para migran dan pengungsi tersebut memang selalu  menjadi bahaan yang dilematis bagi negara-negara Asia khususnya di wilayah Asia Tenggara. Satu sisi menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan di sisi lain menyangkut persoalan atau permasalahan baru yang akan muncul di negara yang menjadi tujuan para pengungsi.

 

MAPPRO FPSB Milad ke-10

“Alhamdulillah Mappro saat ini berulang tahun yang ke 10. Saat ini perkembangan sudah sangat bagus. Mahasiswa kami saat ini sudah sangat kompetitif (dilihat dari rasio pendaftar dan penerimaan mahasiswa baru). Alhamdulillah kecepatan kelulusan juga lebih baik. Tahun ini juga ada ledakan lulusan dimana dalam satu tahun kemarin ada 61 lulusan. Semoga tahun ke depan akan semakin cepat”. Demikian ungkapan sekaligus harapan dari Ketua Program Magister Psikologi Profesi (MAPPRO) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.si., Psikolog dalam acara Tasyakuran Milad ke-10 Program Studi MAPPRO FPSB UII yang diselenggarakan pada hari Selasa, 17 November 2015 di Mushola Baitul Hadi FPSB UII dengan mengundang anak-anak Panti Asuhan Nurul Yasmin Yogyakarta.  

 

Adapun agenda Tasyakuran Milad X MAPPRO FPSB UII selain diisi dengan potong tumpeng dan makan bersama, juga diisi dengan siraman rohani dengan mengundang ustd. Dr. Supriyanto Pasir, S.Ag., MA sebagai pemateri. Dalam ceramahnya, ustadz yang akrab disapa Pak. Pasir ini mengajak para jamaah untuk lebih berhati-hati dalam beribadah agar terhindar dari riya’ akibat godaan syetan yang sangat halus.

Agenda milad diakhiri dengan doa bersama yang juga dipimpin langsung oleh ust. Pasir.