Pandangan Nabi Tentang Ibu Bekerja
Oleh: Lifthya Ahadiati Akmala (Dosen Prodi Psikologi) —–
Raut wajah penuh kelelahan sangat terlihat dari perempuan paruh baya yang duduk tepat di seberang meja kerja saya pagi itu. Hari masih pagi, bahkan masih terlalu pagi untuk menampakkan mimik muka penuh beban pada wajah yang masih tersirat rona cantik meski berdandan ala kadarnya. Sengaja saya memulai pembicaraan kepadanya dengan sedikit pertanyaan tentang kabarnya hari ini. Praktis dari satu pertanyaan yang sederhana keluarlah jawaban panjang kali lebar tentang betapa hiruk pikuknya pagi hari yang telah dilaluinya. Bangun lebih awal dari jadwal muadzin menyuarakan adzan subuh pun nampaknya masih belum cukup untuk mempersiapkan segal keperluan keluarganya tepat waktu sebelum jam sekolah anak-anak maupun jam kerjanya dimulai.
Kondisi semacam ini sekarang telah menjadi fenomena umum yang terjadi pada hampir sebagian besar tempat kerja baik dalam sektor industri, bisnis, hingga pendidikan sekali pun. Data statistik juga menunjukkan kenaikan jumlah tenaga kerja perempuan di dunia kerja meningkat cukup signifikan hingga menyentuh angka 40 persen dari populasi tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2021. Tentu saja mayoritas dari 40 persen angka tersebut merupakan perempuan yang sudah menikah atau bahkan telah memiliki anak.
Meskipun demikian, kenaikan jumlah tenaga kerja perempuan nyatanya tidak diimbangi dengan berbagai fasilitas penunjang kinerja karyawan perempuan baik yang disediakan oleh perusahaan atau mungkin lingkungan sosialnya. Selain itu, budaya patriarki yang masih melekat erat pada masyarakat Indonesia tentu juga memberikan pengaruh terhadap bagaimana pandangan masyarakat atau keluarga pada skala yang lebih kecil pada ibu yang bekerja.
Hampir mayoritas masyarakat Indonesia menganggap bahwa menjadi perempuan yang bekerja bukan berarti bisa saja sedikit terbebas dari tugas domestik keluarga, akan tetapi menjadi ibu yang bekerja berarti bahwa kita dituntut untuk tetap menjadi ibu yang sempurna menurut sudut pandang budaya Indonesia serta ditambah tuntutan untuk mampu menjadi karyawan dengan performa kerja yang maksimal.
Dualisme peran ini lah yang kemudian seringkali menjadi boomerang bagi ibu yang bekerja ketika mengeluhkan kondisi yang dialami kepada lingkungan sekitarnya. Beberapa justru memberi respon seakan menyalahkan pilihan ibu-ibu yang bekerja padahal seringkali alasan ibu yang bekerja bukan hanya tentang aktualisasi diri sebagaimana yang sering digaungkan oleh kaum feminis, karena bisa jadi para ibu yang bekerja memilih untuk bekerja karena tuntutan ekonomi keluarga. Memahami lebih dulu dibanding menghakimi seyogyanya menjadi acuan bagi orang sekitar untuk melihat kondisi ibu yang memilih untuk bekerja.
Menilik dari sejarah Islam pun, fenomena ibu yang bekerja juga sudah ada pada jaman kehidupan Nabi Muhammad SAW. Sebagai umat Islam kita pasti mengenal Khadijah binti Khuwailid bin Asad al-Quraisyiyah al-Asadiyah, istri baginda Rasulullah SAW yang merupakan seorang pebisnis sukses yang dengan kekayaannya mampu berkontribusi terhadap penyebaran agama Islam di muka bumi ini. Selan itu, ada juga salah satu hadits riwayat al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Ibn Hibban, Abu Dawud dan at-Thabrani, menceritakan tentang salah satu sahabat Nabi yang bernama Zainab bin Abdullah at-Tsaqafiyah dimana beliau merupakan sosok perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Melalui Bilal, beliau bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana pandangan Nabi tentang kondisinya sebagai tulang punggung keluarga yang menafkahi suami dan anak-anaknya. Maka dengan jelas Nabi Muhammad SAW pun bersabda : “Ya, dia mendapatkan dua pahala, pahala nafkah keluarga dan pahala sedekah.”
Kalimat tersebut seolah menjadi oase bagi para ibu pejuang keluarga yang memilih untuk bekerja demi meningkatkan kondisi perekonomian keluarga bahwa adanya hadiah yang telah Allah SWT sediakan bagi mereka. Jika memberi nafkah bagi kaum laki-laki merupakan suatu kewajiban, maka memberi nafkah bagi perempuan merupakan sunnah dimana bagi mereka yang melakukannya akan mendapatkan pahala ganda sebagaimana yang dijelaskan pada hadits diatas.
Sebagai Muslim kita pasti percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita tentu tidak lepas dari kehendak Allah SWT, termasuk bagi ibu-ibu yang kemudian Allah SWT berikan kondisi istimewa dimana selain menunaikan amanah menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya juga menjadi pendukung suami dalam membina kehidupan keluarga yang sakinah sesuai dengan yang diimpi-impikan.
Meskipun hanya satu kalimat dalam sebuah hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tentang potensi pahala yang akan didapatkan bagi perempuan yang bekerja, maka kiranya cukup bagi kita sebagi ibu yang bekerja untuk saling menguatkan diri kembali bahwa apa yang dijalani saat ini pun merupakan bentuk usaha kita sebagai Muslim untuk meraih pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Lantas, masih pantaskah kita mengeluh pada keadaan jika janji Allah akan hadiah di balik kesulitan itu pasti kemudahan?
Wallahu a’lam.