Muslim Dewasa dan Tantangan Jiwa
Oleh: Fani Eka Nurtjahjo (Dosen Prodi Psikologi)—-
Konon katanya, usia 40 tahun merupakan penanda babak baru kehidupan seseorang yang lebih matang. Setiap akan melewati fase dasawarsa dalam hidup, pasti memberikan kesan yang sulit untuk dilewatkan begitu saja, minimal ada hal-hal yang muncul dalam lintasan pikiran. Seringkali bentuknya berupa refleksi laku hidup selama sepuluh tahun terakhir, memikirkan pencapaian, apa yang sudah dilalui, dan banyak hal lainnya. Begitu pula yang saya alami saat ini, ketika usia kronologis dalam kalender masehi telah berada di penghujung usia 30-an yang membuat saya lebih banyak berpikir reflektif terhadap hidup. Usia yang merupakan sebuah fase penting dalam perspektif Islam, di mana pada usia tersebut Nabi Muhammad shallallâhu ’alaihiwasallam diangkat menjadi Rasul. Usia yang juga menyiratkan batas kedewasaan seseorang yang dianggap telah matang dalam hal fisik, akal, intelektual, emosional, dan spiritual.
Sebuah pertanyaan besar kerap mengusik diri saya selepas usia 35 tahun berlalu: ’Sebagai seorang muslim yang mengaku berserah pada Allah semata, apa laku nyata selama hidup ini yang mencerminkan ke-berserah-diri-an tersebut? Ingin dikenang sebagai pribadi yang seperti apakah saya kelak? Bagaimana upaya yang akan saya lakukan untuk melakukan perbaikan atas kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan dimasa lalu?’ dan tentu sederet pertanyaan lainnya. Sesuatu yang sebelumnya saya pikir hanya terjadi pada mereka yang sedang melalui quarter-life crisis di usia 20-an menjelang 30. Ternyata hal tersebut terjadi pula pada usia menjelang 40; dan mungkin juga bisa terjadi pada mereka yang memasuki usia 50-an. Saya teringat sebuah ayat dalam al-Quran yang berbunyi :
‘Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa,”Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan agar aku dapat berbuat kebijkan yang Engkau ridhai; dan agar aku dapat berbuat kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh, aku bertaubat kepada Engkau, dan sungguh, aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’ (Surat al-Ahqâf: 15)
Ayat diatas jelas menyatakan usia empat puluh sebagai fase penting dalam perkembangan hidup manusia. Ada perintah-perintah yang menyertai karakteristik yang perlu dimiliki ketika seseorang disampaikan usianya pada masa tersebut. Dewasa bukan hanya sekedar bicara tentang kematangan fisik dan pola pikir. Bagi saya pribadi setidaknya, kedewasaan seorang muslim ditandai dengan values apa yang ia anggap penting dalam hidup dan bagaimana values tersebut tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Entah itu dalam menyikapi kejadian dalam hidup, atau dalam pengambilan keputusan dan strategi dalam memecahkan persoalan secara bijak. Baik persoalan yang berkaitan dengan situasi diri sendiri maupun muamalah dengan orang lain.
Individu yang percaya qadha dan qadr, tentu akan berusaha agar perilakunya sejalan dengan tujuan penciptaannya. Hal ini menjadi lebih penting dan mendesak untuk dilakukan ketika memasuki usia matang. Menuju perilaku yang matang dan dewasa dalam kacamata dan standard Islam tentu bukan hasil instan dari pembelajaran singkat. Setidaknya, tidak sedikit fenomena yang kita lihat di sekeliling kita dimana mereka yang pada masa lalunya banyak berbuat sia-sia, menemukan cahaya hidayah. Begitu pula sebaliknya, mereka yang sejak dulu terkenal memiliki integritas, namun saat dewasa ternyata tidak lepas dari godaan syahwat dunia akan harta, jabatan, dan sebagainya. Keselarasan antara hati dan perilaku dengan apa yang menjadi kondisi ideal seorang muslim sejatinya harus menjadi tujuan yang tidak kenal lelah diupayakan, pada usia berapapun. Nasihat ini setidaknya saya tujukan untuk diri sendiri. Mengenal tanda-tanda kedewasaan seorang muslim tentu menjadi petunjuk penting saat seseorang mengalami krisis kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan ‘soul searching’ yang seringkali menuntut kita untuk berpikir lebih dalam tentang diri dan juga hidup.
Saya ingin mengajak Anda semua untuk melihat the grand picture terlebih dahulu, yaitu gambaran besar dari apa yang sebetulnya semua manusia di dunia ini ingin tuju. Ada sebuah potongan ayat dalam akhir surat al-Fajr yang menjadi inspirasi saya:
‘Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.’ (Surat al-Fajr: 27-30)
Deretan ayat-ayat tersebut menggelitik batin saya, ‘mengapa jiwa yang tenang, bukan jiwa yang berbahagia? bagaimanakah karakter manusia-manusia yang Allah panggil sebagai ‘jiwa yang tenang?’ Tibalah saya pada kesimpulan pikir sementara, bahwa karakter yang diinginkan oleh Sang Pencipta terhadap hamba-Nya di akhir kehidupan bukanlah kebahagiaan, melainkan ketenangan hati.
Sebuah common sense yang saya pelajari dalam ilmu psikologi tentang prinsip dasar manusia dalam berperilaku muncul dalam benak saya. Pada umumnya individu menginginkan sesuatu yang menyenangkan baginya, dan menghindari sesuatu yang menyakitkan baginya. Dalam istilah psikologi konvensional disebut sebagai prinsip seeking pleasure, avoiding pain. Kalaupun ada yang bisa tetap menikmati situasi yang tidak menyenangkan baginya, artinya individu tersebut sedang atau telah berjuang untuk melampaui sesuatu yang mayoritas orang tidak mampu melakukannya. Pemaknaan yang ia berikan pada kejadian demi kejadian tidak menyenangkan dalam hidup adalah tentang persepsi yang ia filter melalui values dan keputusannya untuk menjadi orang yang berbeda, orang yang menuju kematangan spiritual dan intelektual.
Setiap orang, tanpa terkecuali, pasti pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan baginya, dalam kadar yang berbeda-beda tergantung kesanggupannya dalam takaran Allah. Berbagai krisis yang dialami oleh saya maupun orang-orang sekitar yang saya amati, menjadi terasa lebih berat saat kita tidak mengenali secara jelas apa yang menjadi tujuan, atau justru keliru mengenali sesuatu yang pleasuring sebagai tujuan. Dengan kata lain, kita perlu mengevaluasi ulang batasan yang kita buat bagi diri kita sendiri tentang apa yang menyenangkan dan apa yang menyakitkan.
Penilaian yang kabur seringkali karena menginginkan konsekuensi yang sesegera mungkin didapat. Padahal seringkali, tidak sedemikian mudah jalan menuju surga. Mengalah dalam perdebatan mungkin terasa menyakitkan dan dimaknai sebagai kekalahan. Tetapi Allah SWT menjanjikan rumah di pinggiran surga bagi mereka yang meninggalkan perdebatan yang tidak bermanfaat. Menahan diri dari membicarakan keburukan/ ketidak-adilan orang lain tentu terasa menyesakkan dada, namun Allah SWT menjanjikan balasan yang lebih baik dan pahala tanpa batas bagi orang-orang yang bersabar (Quran Surah an-Nahl:96 dan az-Zumar:10). Balasan-balasan ini adalah konsekuensi yang tidak didapat segera di dunia dan dirahasiakan waktunya kapan Allah SWT hendak menunjukkan balasan atas kesabaran hamba tersebut. Begitu pula saat melihat kezaliman terjadi, terkadang Allah SWT tidak tampakkan sesegera mungkin balasan bagi orang yang berbuat, padahal telah nyata ancamannya (Quran Surah al-Furqan:19 dan Ghafir:52).
Dengan demikian, orang yang telah sampai pada usia kedewasaan intelektual dan spiritual hendaknya mengenali pilihan—pilihan perilaku tersebut secara jelas. Beberapa hal yang bisa saya simpulkan mengenai tanda kedewasaan seorang muslim adalah ketika kita tidak lagi mencari/ mengejar kebahagiaan. Kita lebih memilih sesuatu yang membawa kita pada ketenangan hati, sekalipun tidak menyenangkan dalam pandangan mayoritas manusia. Sebagian ahli menyebutnya sebagai wisdom. Dewasa juga menyangkut tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan kebaikan, terutama kepada kedua orangtua. Terakhir, tanda kedewasaan seorang muslim adalah apabila ia senantiasa bersyukur atas segala kondisi yang Allah SWT berikan kepadanya. Dengan kesyukuran tersebut mengantarkan jiwanya pada kondisi yang lebih tenang dan Allah SWT ridhai. Wallahu’alam bishshawwab.