Ini Hidupku, Bukan Hidupmu
Oleh: Dian Febriany Putri ——-
Telah menjadi suatu kelaziman dan menjadi hal yang tidak terlepaskan bahwasanya penggunaan teknologi baik fisik maupun non-fisik, seperti gawai dan internet, telah melekat dalam aktivitas kita sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang hal yang kita genggam sebelum tidur dan hal yang kita gapai saat bangun tidur adalah gawai tersebut yang berbentuk handphone atau telepon genggam. Benda yang dahulu kita kenal dan manfaatkan sebagai media komunikasi secara verbal dan tekstual, saat ini telah semakin berkembang memenuhi kebutuhan untuk dapat berkomunikasi dengan menampilkan visual. Begitu banyak perkembangan yang terjadi dengan adanya gawai dan internet ini yang mana hampir memfasilitasi aspek-aspek kebutuhan maupun aktivitas manusia, antara lain di bidang pendidikan, ekonomi/finansial, hiburan, dan tentu masih banyak lainnya. Penggunaan teknologi inipun tidak terbatas pada kalangan atau usia tertentu. Baik orang tua, orang dewasa, lebih-lebih remaja, bahkan anak-anak sudah sangat fasih betul dengan penggunaan gawai ini sendiri.
Hal ini tentu lagi-lagi semakin kita rasakan ketika dunia mengalami pandemi, di mana salah satu dampaknya adalah adanya perubahan tatanan kehidupan dan perilaku para penghuninya. Adanya pandemi serta menjadikan seseorang mau tidak mau, semakin “melek” dengan teknologi. Adanya desakan kebutuhan namun diiringi dengan keterbatasan akses mobilisasi untuk dapat bertemu dan berinteraksi secara langsung dengan orang lain, menjadikan gawai sebagai jawaban utama kala itu untuk tetap dapat menyalurkan pemenuhan kebutuhan seperti kebutuhan dasar pangan, komunikasi, maupun akses informasi. Adanya gawai dirasa dapat memperpendek jarak maupun waktu untuk tetap dapat berinteraksi dengan orang lain. Tidak dipungkiri bahwa pada saat itu, bahkan mungkin sampai dengan saat ini, setiap harinya kita terpapar oleh penggunaan gawai.
Meski demikian, penggunaan gawai ini sendiri pada akhirnya ibarat dua buah mata pisau yang tentunya memiliki sisi manfaat, namun juga memiliki dampak tertentu apabila kita tidak menggunakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, perkembangan teknologi dan penggunaan gawai ini sendiri telah hampir memfasilitasi aspek-aspek kehidupan manusia seperti pendidikan, ekonomi/finansial, dan salah satunya adalah hiburan. Banyaknya aplikasi yang telah dikembangkan oleh sejumlah perusahaan, seakan menjawab apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh banyak kalangan secara mendetail. Salah satu yang cukup marak dan banyak diakses adalah penggunaan media sosial. Media sosial inipun teramat sangat beragam jenisnya. Namun sesuai dengan penggunaan istilahnya sendiri, hal yang menjadi kesamaan dari beragam jenis media sosial itu ialah bagaimana seseorang dapat berbagi hal-hal di dalam hidupnya kepada orang lain.
Hal ini tampak cukup menarik dan menyenangkan, karena kita akan melihat banyak hal dari orang lain, baik aktivitas kesehariannya, hal-hal yang menjadi ketertarikannya, atau mungkin memperoleh informasi baru dari konten yang disampaikannya. Namun ternyata di sisi lain, terdapat dampak yang mungkin saja tidak terlihat namun dapat kita rasakan, yakni dampak psikologis. Dampak psikologis apa yang antara lain kita rasakan? Membanding-membandingkan hidup sendiri dengan orang lain, kelalaian dalam menggunakan waktu untuk melakukan aktivitas yang lebih bermanfaat, dan dampak-dampak lain yang mungkin saja bisa berbeda antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Salah satu fungsi penggunaan media sosial sendiri pada dasarnya adalah memenuhi kebutuhan hiburan dan bertujuan untuk memperoleh pengalaman menyenangkan. Karena itu, pada akhirnya seseorang bisa jadi ingin menampilkan citra yang baik atas dirinya, menampilkan hal yang menyenangkan tanpa perlu menunjukkan realita sebenarnya di balik itu. Pada dasarnya, hal tersebut merupakan hal yang biasa saja dan bersifat netral tanpa ada maksud apapun. Namun, hal-hal yang ditampilkan tersebut bisa saja menjadi sesuatu yang tidak lagi bersifat netral oleh orang lain, bahkan bisa menjadi suatu stimulus yang kemudian dipersepsikan sebagai suatu hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Salah satunya, seseorang bisa saja membandingkan kondisi kehidupannya dengan kehidupan orang lain, di mana ia akan merasa senantiasa kurang dan tidak mensyukuri atas apa yang telah ia miliki maupun hidup yang telah ia jalani. Ia akan menciptakan standar baru atas hidupnya berdasarkan penilaiannya pada hidup orang lain. Padahal Allah SWT telah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 216:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ – ٢١٦
Artinya:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Fenomena yang muncul akibat hadirnya media sosial ini semakin mempertajam dan membuat semakin nyata peribahasa yang telah berkembang dahulu, “rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri”. Peribahasa tersebut memiliki makna bahwa terkadang kita lebih sering melihat dan menilai apa yang dimiliki oleh orang lain lebih baik daripada apa yang telah kita miliki, sehingga timbul lah perasaan tidak puas yang pada ujungnya menumbuhkan penyakit hati berupa rasa iri. Iri hati atau terkadang disebut juga dengan dengki atau hasad sendiri merupakan suatu emosi yang muncul ketika seseorang menginginkan suatu hal yang tidak dimilikinya atau bahkan mengharapkan orang lain kehilangan atas suatu hal tersebut. Maka, secara tidak langsung dapat dikatakan pula bahwa dengan kerapnya kita mempersepsikan dan memandang bahwa diri ini selalu memiliki celah kekurangan, tidak berkecukupan, minim daya baik dari segi apapun, kita telah memupuk dan menumbuh kembangkan bibit iri di dalam hati ini sendiri. Bibit iri ini akan sangat berbahaya apabila senantiasa tumbuh, berkembang dan mengakar karena pada akhirnya dapat membawa pada perilaku maupun tindakan lainnya yang bersifat merugikan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S At-Taubah ayat 125:
وَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا اِلٰى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كٰفِرُوْنَ – ١٢٥
Artinya:
“Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit maka (dengan surah itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada dan mereka akan mati dalam keadaan kafir.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai makhluk Allah SWT manusia tidak pernah luput dari kesalahan termasuk dengan permasalahan penyakit hati. Namun bukan berarti sebagai seorang manusia kita justru terlena dan dikendalikan oleh penyakit tersebut. Bahkan Allah SWT sendiri melarang umat-Nya untuk iri hati terhadap orang lain dan berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 32:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا – ٣٢
Artinya:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Pada dasarnya sebagai seorang mukmin, kita memiliki modal yang kuat untuk dapat mengendalikan dan menjadi nahkoda bagi hati kita sendiri, di mana seorang muslim memiliki iman sebagai jangkar yang dapat mencegahnya untuk mengikuti arus kemungkaran dan sekaligus menjadi kompas yang dapat mengarahkannya pada arah kebajikan. Adapun karakteristik orang yang beriman sendiri dapat banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Pada Al-Qur’an sendiri antara lain tercantum dalam Q.S Al-Hujurat: 15:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ – ١٥
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”
Berdasarkan penjelasan di dalam Q.S Al-Hujurat: 15 tersebut dapat dipahami bahwa karakter orang beriman tidak hanya pada pembenaran di hati, namun harus turut diikuti dengan keikutsertaan lisan dan implementasi perbuatan (Yusuf, 2008). Selain itu, karakteristik orang beriman secara rinci juga diterangkan dalam Q.S Al-Baqarah: 177:
لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ – ١٧٧
Artinya:
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Berdasarkan penjelasan di dalam Q.S Al-Baqarah: 177 tersebut dapat dipahami bahwa karakter orang beriman memiliki kerelaan berjuang tidak hanya dengan jiwanya, namun juga hartanya dan termasuk di dalamnya hal-hal yang menuntut pengorbanan baik jiwa dan hartanya sebagai sebuah aktivitas derma (Shofaussamawati, 2016).
Berdasarkan karakteristik tersebut, menunjukkan bahwa iman ini sendiri tidak terbatas pada keyakinan di dalam hati, namun juga terefleksikan dalam kata maupun perbuatan. Iman bukan hanya sebatas pengetahuan dan pemahaman mengenai keenam rukun iman itu saja, namun lebih daripada itu iman juga memberikan pandangan dan juga petunjuk mengenai bagaimana individu berinteraksi dengan kehidupan di lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, untuk membenahi atau bahkan menjaga hati dari berbagai macam penyakit perlu upaya preventif ataupun kuratif, yaitu menguatkan pondasi iman sehingga beragam situasi sosial yang muncul saat ini tidak banyak mengubah persepsi maupun pandangan bahkan keyakinan diri sendiri. Lebih dari itu, dengan kuatnya pondasi iman sendiri dapat menjadikan seseorang senantiasa merasa cukup, bersyukur, dan tidak menghadapi kehidupan ini sebagai sebuah kompetisi dengan orang lain.
Sumber:
Shofaussamawati. (2016). Iman dan kehidupan sosial. Riwayah: Jurnal Studi Hadis, 2 (2), 211-224.
Yusuf, M. (2008). Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadits Relasi Iman dan Sosial Humanistik Paradigma Integrasi Interkoneksi. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Yogya.