MENYEMAI HARAPAN (HOPE) DAN KESEHATAN MENTAL DI MASA PANDEMI
Oleh : Thobagus Moh. Nu’man (Dosen Prodi Psikologi) ——–
Pandemi covid-19 sudah berlangsung lebih dari setahun. Rasa-rasanya belum ada tanda-tanda pandemi ini akan segera berakhir. Bahkan, di bulan Juni ini Indonesia menghadapi gelombang kedua dengan jumlah penduduk yang terkena covid-19 lebih dari gelombang pertama. Sehari dilaporkan ada lebih dari 20.000 penduduk Indonesia yang tertular virus covid-19.
Sudah banyak media massa yag memberitakan dampak pandemik terhadap kesehatan mental masyarakat. Selama pandemi berlangsung, dilaporkan ada peningkatan kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Taylor (2019) menjelaskan bahwa kesehatan mental selama pandemi sangat mungkin disebabkan karena ketakutan terhadap penyebaran virus yang sangat cepat dan meluas sehingga muncul ketakutan untuk tertular. Hal yang lain adalah stigma terhadap orang yang tertular virus corona, mereka cenderung dijauhi karena dipandang sebagai individu yang memiliki potensi untuk menularkan kepada yang lain. Stigma ini tentunya akan berdampak kepada isolasi terhadap orang yang terkena virus yang pada akhirnya merasa tidak ada dukungan dari orang lain. Hal yang lain terkait dengan munculnya norma baru. Pandemi mengharuskan masyarakat mengadopsi berbagai perilaku baru, yang tentunya bukan hal yang mudah. Adaptasi terhadap berbagai perilaku baru menimbulkan tekanan tersendiri. Belum lagi banyak masyarakat yang terancam kondisi perekonomiannya. Pembatasan sosial membuat aktivitas masyarakat terbatas, mereka diharapkan banyak tinggal di rumah sehingga menimbulkan ketidakpastian akan kondisi perekonomian. Kondisi-kondisi yang penuh ketidkpastian ini menimbulkan perasaan cemas, khawatir, takut, stres bahkan depresi.
Menghadapi situasi yang demikian tentunya perlu ada upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan resiliensi mayarakat. Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi situasi saat ini adalah terus menyemai harapan-harapan di tengah ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir. Berbagai riset mengindikasikan bahwa harapan (hope) dan disposisi yang sejenis (misal, optimisme) diasosiasikan dengan kesejahteraan psikologis dan fisik (Irving, Snyder, & Crowson, 1998). Harapan dipandanng memiliki korelasi yang signifikan dengan kualitas hidup seseorang. Berangkat dari asumsi ini, dapat dikatakan bahwa harapan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat di saat pandemi.
Dalam Psikologi Positif harapan (hope) terkait dengan perkiraan (expectancies) positif untuk memperoleh tujuan (goal). Perkiraan positif merupakan sesuatu yang esensial bagi kesehatan fisik dan mental, sebaliknya gangguan fisik dan psikiatris merefleksikan kekurangan perkiraan yang diarahkan pada tujuan. Sebagaimana pendapat Frankl, bahwa penyakit diasosiasikan dengan terhalangnya harapan, sehingga berhasilnya tritmen ditentukan oleh pemulihan terhadap harapan (Irving, Snyder & Crowson, 1998). Konsep harapan sangat relevan dengan perawatan kesehatan mental (Cutliffe & Herth dalam Kylmä, dkk, 2006). Penelitian tentang harapan sangat penting, karena harapan merupakan elemen dasar bagi eksistensi manusia, penyembuhan yang mendorong peningkatan kesejahteraan dan diperlukan untuk coping kesehatan serta sebagai sumber dasar bagi kehidupan manusia (Cutliffe & Herth dalam Kylmä, dkk, 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Selligman dan Csikszentmihalyi (Cheavens dkk, 2006; Arnau dkk, 2007) menunjukkan bahwa keteguhan hati (courage), harapan (hope) dan optimisme (optimism) mampu menjadi benteng (buffer) bagi penyakit psikologis (psychological disorders). Menurut Fredrickson (2003), emosi positif seperti cinta, harapan, kegembiraan, rasa syukur, memicu ketahanan psikologis (psychological resilience). Di samping itu, menurut Peterson (Arnau, 2007) harapan merupakan faktor motivasi yang membantu seseorang untuk mengawali dan menjaga tindakan terhadap tujuan dan juga terkait dengan kebahagiaan, ketekunan hati, prestasi dan kesehatan.
Harapan dan kesehatan mental selama pandemi
Snyder (2002) berasumsi bahwa tindakan seseorang pasti diarahkan pada tujuan (goal) tertentu. Tujuan menyediakan patokan bagi individu untuk berusaha dan mengeluarkan energi. Lebih lanjut Snyder (2002) menjelaskan bahwa tujuan seringkali tidak digunakan untuk menggambarkan tindakan seseorang, tetapi lebih pada apa yang akan dilakukan oleh seseorang. Dalam konteks ini, seseorang seringkali memproses bagaimana menemukan jalan untuk mencapai tujuan dan termotivasi menggunakan cara tersebut untuk mencapai tujuan (Snyder, 2002). Kapasitas menemukan cara dan kapasitas memotivasi untuk menggunakan cara tersebut untuk mencapai tujuan merupakan bentuk dari harapan (hope). Dengan kata lain, harapan seringkali mengiringi seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Harapan merupakan pengalaman umum yang dialami oleh manusia. Menurut Stotland (Shaw dan Constanzo, 1982), dengan memiliki harapan seseorang akan menjadi aktif, lebih hidup, antusias, sedangkan tanpa harapan manusia menjadi kehilangan kehidupan.
Menurut Snyder (2002; Gum & Snyder, 2002; Snyder, dkk, 2002 ) harapan adalah keadaan motivasi positif untuk memperoleh kesuksesan yang didasarkan pada interaksi antara agency (energi yang diarahkan pada tujuan) dan pathways (perencanaan untuk memperoleh tujuan. Dengan kata lain, harapan adalah persepsi terhadap kapasitas untuk menghasilkan tujuan yang jelas, dengan menggunakan rute (cara) untuk mencapai tujuan tersebut (pathways thinking) dan motivasi untuk menggunakan cara mencapai tujuan (agency thinking) (Snyder, 2005).
Pathway merujuk pada persepsi individu terhadap kemampuan untuk menemukan formulasi alternatif rencana ketika menghadapi hambatan dalam memperoleh tujuan. Sedangkan agency merujuk pada kebulatan tekad dan komitmen yang mengarahkan seseorang terhadap satu tujuan, agency memuat pentingnya tujuan dan kepercayaan bahwa individu dapat memulai dan melanjutkan tindakan terhadap tujuan. (Snyder, dkk, 2002; Gum & Snyder, 2002; Cheavens dkk, 2006; Arnau, dkk, 2007). Orang yang memiliki harapan tinggi dicirikan dapat mengembangkan jalan (pathways) untuk mencapai tujuan dengan kepercayaan diri yang tinggi, dan dapat mengembangkan jalan alternatif, khususnya pada saat tujuannya terhalang. Selain itu, orang yang memiliki harapan tinggi secara umum mampu memotivasi dirinya untuk menggunakan jalur (pathways) yang dipilih dan mereka dapat mengarahkan kembali energi mereka kepada hal yang lain, serta membuat jalan yang dipilih dapat bekerja ketika tujuan terhalang (Gum & Snyder, 2002). Selain itu, orang dengan harapan tinggi memiliki kemampuan untuk menetapkan seperangkat tujuan yang sesuai dan jelas, menemukan jalan untuk mencapai tujuan, dan menjaga level agency yang dibutuhan. Mereka dapat menyesuaikan jalan dan tujuan ketika berhadapan dengan berbagai penghalang. di samping itu, mereka juga mampu mengidentifikasi dan mengumpulkan sumber motivasi internal maupun eksternal untuk menjaga sense of agency sepanjang proses mencapai tujuan (Wrobleski, & Snyder, 2005). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikemukan bahwa harapan dapat terdiri atas tiga komponen yang saling terkait satu sama lain, yaitu tujuan (goal), pathways thinking, dan agentic thinking. Ketika jalan yang ditempuh sukses dan tujuan diperoleh, individu akan percaya bahwa jalan yang ditempuh ke depannya akan mendatangkan kesuksesan yang lebih, selanjutnya akan mempengaruhi keseluruhan pengalaman harapan individu (Moulden & Marshall, 2005).
Dimitriou, dkk (2020) menyebutkan bahwa harapan dapat memprediksi tingkat resiliensi psikologis seseorang dan kemampuan adaptasi dalam menghadapi berbagai situasi yang sulit termasuk situasi pandemi yang penuh dengan ketidakpastian. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki harapan tinggi (dibandingkan dengan mereka yang memiliki harapan rendah) lebih cenderung membuat penyesuaian adaptif terhadap tantangan hidup dan memanfaatkan strategi koping yang efektif dalam menghadapi kesulitan (Lee & Gallagher, 2018). Dalam kerangka teori harapan, menghadapi situasi pandemi yang penuh dengan stressor, orang yang memiliki harapan akan berupaya untuk menemukan strategi (cara) bagaimana menghadapi situasi pandemi dengan sukses (pathways thinking) dan percaya bahwa cara yang digunakan mampu mendatangkan kesuksesan atau memperoleh tujuan yang diinginkan (agentic thinking). Snyder (1994) berpendapat bahwa seseorang yang memiliki tingkat harapan yang tinggi lebih mungkin untuk menerima tantangan dan menempatkan fokusnya pada keberhasilan daripada kegagalan, serta kemungkinan untuk mencapai tujuannya, dan mempertahankan sikap emosional yang positif. Di sisi lain, seseorang yang memiliki tingkat harapan yang rendah tidak melakukan yang terbaik, berfokus pada kegagalan dan ketidakmungkinan pencapaian tujuan, dan mempertahankan sikap emosional yang negatif. Akibatnya, karakteristik harapan ini dapat memainkan peran penting dalam mengatasi keadaan yang merugikan.
Tanpa adanya strategi yang dapat diimplementasikan untuk mencapai tujuan, maka motivasi untuk mencapai tujuan tidak akan ada. Misalkan, dua orang sama-sama menghadapi kesulitan ekonomi selama pandemi, orang pertama tidak percaya bahwa ada strategi atau cara untuk mengatasi kesulitan ekonomi (tidak memiliki pathways thinking), maka orang tersebut tidak akan termotivasi untuk berusaha yang mendatangkan perbaikan ekonomi (misal, beralih usaha). Orang kedua percaya bahwa dia dapat keluar dari kesulitan ekonomi dengan strategi berjualan dengan strategi jemput bola atau sistem online dan dia percaya dapat mengatasi dengan melakukan usaha bersama seluruh keluarga (pathways thingking), maka dia akan termotivasi (agentic) dengan memiliki pikiran yang diarahkan pada tujuan.
Pandangan Islam terhadap Raja’ (harapan)
Konsep harapan dalam Islam dikenal dengan istilah raja’. Menurut Al-ghazali (Dachofany, 2014) raja’ yaitu penantian atas sesuatu yang dicintai dengan mengerahkan segenap upaya seorang hamba. Definisi tersebut menggarisbawahi bahwa menantikan sesuatu yang dicintai haruslah diupayakan. Raja’ berkaitan dengan harapan atas raamat Allah yang diberikan kepada hamba-hambanya (Shirvani, 2018). Raja’ dipandang mampu membangkitkan rasa optimisme yang pada akhirnya akan melahirkan prasangka baik terhadap segala sesuatu yang terjadi pada diri kita. Ada banyak surat dalam al-Qur’an yang meminta kita untuk tidak berputus terhadap rahmat Allah, diantaranya Surat Az-zumar ayat 53 yang menyatakan bahwa kita diminta untuk tidak berputus asa terhadap rahmat Allah, meskipun kita telah melakukan banyak dosa besar. Begitu juga surat Yusuf ayat 87, secara tegas Allah melarang hambanya untuk berputus asa dari rahmat Allah, bahkan berputus asa dipandang sebagai sifat orang-orang kafir.
وَلَا تَا۟يْـَٔسُوا۟ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِن رَّوْحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْقَوْمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
“dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”
Ayat tersebut menceritakan tentang wasiat Nabiyullah Ya’qub alaihissalam kepada putra-putranya untuk tidak berputus asa dalam mencari saudaranya Nabi Yusuf alaihissalam. Menurut Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, janganlah berputus asa dari rahmat Allah bermakna bahwa kita diminta untuk selalu optimis, karena optimisme akan mendorong seorang hamba kepada usaha dan ketekunan serius untuk mencapai apa yang diharapkannya. hanya akan mengakibatkan perasaan berat dan bermalas-malasan baginya. Pengharapan yang paling utama diinginkan seorang hamba ialah kemurahan dan curahan kebaikan Allah, rahmat dan kasih-Nya (https://tafsirweb.com/3825-quran-surat-yusuf-ayat-87.html).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara Islamic hope (raja’) berkurangnya rasa depresi dan kecemasannya (Masjedi-Arani, dkk., 2020) dan peningkatan kesejahteraan psikologis (Hasanah, Milla, & Fatai, 2015). Harapan yang disandarkan pada kekuatan Ilahiah akan mendorong seseorang meyakini bahwa Allah sang pemilik kekuatan dan kemampuan tak terbatas akan akan menolong hambanya. Keyakinan inilah yang akan memunculkan harapan, sehingga akan tumbuh rasa optimisme. Berdoa kepada Allah dan memohon bantuannya dan adanya perasaan terhubung dengan kekuatan tertinggi akan menciptakan pandangan hidup yang positif, sehingga membantu individu menemukan makna dalam hidup mereka dan menjadi harapan tentang masa depan. Counted, dkk. (2020) menemukan bahwa harapan dan koping religious yang positif berkaitan dengan kesejahteraan individu selama menghadapi pandemic covid-19. Harapan memilihara hasrat, kemauan dan motivasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan beradaptasi selama menghadapi krisis kesehatan.
Menyemai harapan terus menerus dalam menghadapi pandemi covid-19 merupakan hal yang sangat penting. Harapan akan melahirkan sikap optimisme dan mendorong kita untuk selalu mencari jalan keluar dan adaptif dengan konsisi pandemi. Selain itu, harapan yang kita sandarkan kepada Allah akan mendorong kita untuk meyakini bahwa pada akhirnya pandemi ini akan berakhir.
Daftar Pustaka
Arnau, R.C., Rosen, D.H., Finch, J.F., Rhudy, J.L., and Fortunato, V.J. (2007). Longitudinal Effects of Hope on Depression and Anxiety: A Latent Variable Analysis. Journal of Personality, 75 (1), 1 – 21.
Counted, V, Pargament, K. I., Bechara, A. O., Joynt, S, & Cowden, R. G. (2020). Hope and well-being in vulnerable contexts during the COVID-19 pandemic: does religious coping matter? The Journal of Positive Psychology, DOI: 10.1080/17439760.2020.1832247
Cheavens, J. S., Feldman, D. B., Woodward, J. T., & Snyder, C. R. (2006). Hope In Cognitive Psychotherapies: On Working With Client Strengths. Journal of Cognitive Psychotherapy: An International Quarterly, 20 (2), 135 – 145
Dacholfany, M.I. (2014). Al-khauf dan al-raja’ menurut al-ghazali, As-sal.am, v (1). 35-44
Dimitriou, L, Drakontaides, M, & Hadjicharalambous, D. (2021). Psychological Resilience, Hope, and Adaptability as Protective Factors in Times of Crisis: A Study in Greek and Cypriot Society During the Covid-19 Pandemic. Social Education Research, 2 (1), 20-34.
Kylmä, J., Juvakka, T., Nikkonen, M, Korhonen, T., & Isohanni, M. (2006). Hope and schizophrenia: an integrative review. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing, 13, 651–664.
Grewal & Porter. (2007). Hope Theory: A Framework For Understanding Suicidal Action. Death Studies, 31, 131 – 154
Gum, A., & Snyder, C.R. (2002). Coping with Terminal Illness: The Role of Hopeful Thinking. Journal Of Palliative Medicine, 5 (6), 883 – 894.
Hasanah, U., Milla, S. N., & Fatai, I. A. (2015). Empirical investigation of the relationship between Islamic concept of al-raja’ (hope) and higher institution students’ well-being. Psikologika, 20 (2). 107-116.
Irving, L.M., Snyder, C.R., & Crowson, J.J. 1(998). Hope and Coping with Cancer by College Women. Journal of Personality, 66 (2), 195 – 214
Lee, J. Y., & Gallagher, M. W. (2018). Hope and well-being. In M. W. Gallagher & S. J. Lopez (Eds.), The oxford handbook of hope (pp. 287–298). Oxford University Press. https://doi.org/10. 1093/oxfordhb/9780199399314.013.20
Masjedi-Arani, A , Yoosefee, S, Hejazi S, Jahangirzade M, Jamshidi, M, Heidari, M, Farhoush, M. (2020). Effectiveness of An Islamic Approach to Hope Therapy on Hope, Depression, and Anxiety in Comparison with Conventional Hope Therapy in Patients with Coronary Heart Disease . J Adv Med Biomed Res. 28(127): 82-89
Moulden & Marshall. (2005). Hope in the treatment of sexual offenders: The potential application of hope theory. Psychology, Crime & Law, 11 (3), 329 – 342.
Park, N., Peterson C., Seligman, M.E.P. (2004). Strengths Of Character And Well–Being: A Closer Look At Hope And Modesty. Journal of Social and Clinical Psychology, 23 (5), 628-634.
Shaw dan Constanzo. 1982. Theories of Social Psychology. McGraw Hill. Tokyo.
Shirvani, SM. H. (2018). “Raising hope” in quran and psychology, HTS teologiese studies/Theological studies, 74 (1), 4828. https://doi.org/10.4102/hts.v74i1.4828
Snyder, C. R. (1994). The psychology of hope: You can get there from here. New York: Free Press.
Snyder, C. R. (2002). Hope Theory: Rainbows in the Mind. Psychological Inquiry. 13 (4), 249 – 275
Snyder, C. R. (2005). Teaching: The Lessons Of Hope. Journal of Social and Clinical Psychology, 24 (1), 72 – 84
Snyder, C.R., Rand, K.L., King, E.A., Feldman, D.B., and Woodward, J.T. (2002). “False” Hope. Journal of Clinical Psychology, 58 (9), 1003 – 1022.
Wrobleski, K.K., & Snyder, C.R. (2005). Hopeful Thinking In Older Adults: Back To The Future. Experimental Aging Research, 31, 217–233.