Vaksin dan Pandemi Covid 19
Oleh : Enggar Furi Herdianto, S.I.P, M.A ——-
Vaksin atau yang sering kali dikenal dengan nama imunisasi telah lama beredar dalam kehidupan kita sehari-hari. Dimulai dari vaksin hepatitis B yang diberikan kepada bayi yang baru lahir untuk memberikan kekebalan imunitas kepada bayi tersebut, sehingga peluang hidup sehat lebih besar, serta diikuti oleh berbagai jenis vaksin lain guna memberikan kekebalan imunitas bagi bayi agar mampu tumbuh sehat dan memberikan peluang hidup yang lebih panjang (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Vaksin sendiri berasal dari bagian bakteri atau virus yang menyerang manusia, yang mana bagian tersebut dilemahkan dan disuntikkan ke dalam tubuh manusia dengan harapan tubuh akan membentuk antibodi terhadap bentuk bakteri atau virus serupa untuk kemudian mampu menciptakan imunitas terhadap paparan bakteri atau virus yang asli. Oleh karena itu, vaksin merupakan bagian penting dalam peradaban manusia dalam menghadapi penyakit mematikan dan menghindari penyebaran wabah penyakit mematikan (WHO, 2019).
Meski begitu, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa masih banyak terdapat kelompok yang juga menolak akan adanya vaksinasi terhadap semua lapisan kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok yang menolak akan adanya program vaksinasi memiliki berbagai latar belakang alasan, mulai dari alasan kekhawatiran kesehatan hingga alasan agama. Dimulai dari alasan kekhawatiran kesehatan, yang mana terdapat beberapa kelompok yang memiliki latar belakang berbeda. Yang pertama adalah dikarenakan adanya kekhawatiran akan meningkatnya jumlah kematian atau korban dari vaksin. Hal ini dikarenakan oleh adanya kekhawatiran akan kurang baiknya tubuh dalam menghadapi vaksin yang justru akan menyerang balik orang yang disuntikkan vaksin sehingga menimbulkan penyakit hingga kematian. Yang kedua, adanya alasan bahwa penyakit yang ingin dicegah sebenarnya sudah tidak ada lagi di kelompok masyarakat, yang mana dibuktikan dengan tidak adanya lagi kasus dari penyakit tersebut di tengah masyarakat. Ada pula yang mengkhawatirkan akan over load pada sistem imunitas tubuh dikarenakan beragamnya vaksin yang diberikan pada tubuh. Hal ini belum termasuk dengan kekhawatiran yang muncul dari berbagai teori konspirasi terkait isu politik, hanya untuk kepentingan korporat obat-obatan, hingga isu genosida (Poland & Jacobson, 2001). Gerakan anti vaksin ini sendiri bukanlah hal baru, yang mana tercatat sudah ada sejak 1800-an. Gerakan ini semakin meningkat terutama pada 1998 terdapat satu dokter di London yang menerbitkan laporan secara tidak tepat terkait dengan dampak vaksin yang dianggap mampu menyebabkan autisme dan penyakit usus pada vaksin tertentu (Hughes, 2019).
Selain alasan di atas, terdapat pula penolakan dengan dasar agama. Dalam beberapa kelompok Kristen di negara Barat, adanya penolakan vaksin berasal dari penolakan ide pengetahuan ilmiah di atas nilai agama, mengingat banyak berjalannya paham sekularisme yang mereka anggap semakin menyudutkan posisi agama dalam masyarakat. Beberapa kelompok ini kemudian menentang pengetahuan ilmiah sebagai bentuk simbolis superioritas nilai agama dibanding nilai lainnya. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai ancaman bagi nilai tradisional yang dimiliki. Lebih lanjut, kelompok ini juga melihat bahwa institusi berbasis pendidikan yang menjalankan kebijakan intervensi juga dianggap sebagai institusi yang memiliki motif di belakangnya, peranan tokoh agama juga sangat penting, di mana untuk tokoh agama yang memberikan pandangan negatif pada vaksin akan turut meningkatkan penolakan pada program vaksinasi yang dijalankan pemerintah (Whitehead & Perry, 2020).
Selain Kristen, kita juga melihat hal yang sama di dalam kelompok Muslim, di mana terdapat beberapa kelompok yang juga menolak keberadaan dari vaksin itu sendiri. Gerakan beberapa kelompok Muslim ini paling banyak didorong oleh gelombang penolakan vaksin meningitis yang diwajibkan bagi orang yang hendak pergi ibadah haji atau umrah pada 2010 (Nashrullah, 2010). Hal ini kemudian mendorong pada penolakan-penolakan vaksin lain seperti vaksin campak dan rubela (MR) yang diberikan pada anak-anak melalui program vaksinasi nasional. Gelombang penolakan tersebut muncul dikarenakan adanya keraguan sifat kehalalan vaksin tersebut. Beberapa vaksin tersebut ditengarai mengandung enzim babi yang secara otomatis membuatnya bersifat haram. Meski begitu, MUI kemudian mengeluarkan fatwa bahwa vaksin tersebut boleh dipergunakan dengan mengingat kemaslahatan umum yang lebih besar agar tidak menimbulkan wabah penyakit yang membahayakan kesehatan umum (Aminondi, 2018).
Mengaca dari perkembangan isu vaksin di atas, tentu hal ini sangat relevan dengan kondisi yang kita hadapi saat ini. Dengan tersebut luasnya pandemi COVID-19 yang telah merenggut jutaan jiwa di dunia, merupakan suatu kewajiban bagi kita untuk menjaga kesehatan baik untuk diri maupun untuk lingkungan sekitar. Hal ini termaktub dalam sabda Rasulullah “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kelian meninggalkan tempat itu,” (HR Bukhari dan Muslim) yang ditunjukkan dengan upaya isolasi mandiri maupun dengan berbagai protokol kesehatan yang perlu kita jalankan selama pandemi ini berlangsung. Tentu pandemi ini kemudian semakin menyulitkan kita ketika hingga saat ini masih belum ditemukan obat yang dianggap mampu secara efektif mengobatinya.
Di sini, vaksin merupakan salah satu cara yang dianggap mampu mempercepat normalisasi kondisi sehingga kita mampu menjalani kehidupan kembali seperti sedia kala. Meski begitu, bukan berarti tidak ada solusi lain. Vaksinasi merupakan salah satu upaya lain yang dapat dijalankan, yaitu dengan memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit, termasuk COVID-19. Dengan semakin banyak orang yang kebal terhadap virus tersebut, diharapkan ke depannya akan tercipta herd immunity, atau imunitas kelompok yang mana semua orang sudah memiliki kekebalan dan tidak lagi mentransmisikan virus tersebut kepada orang lain. Vaksinasi ini sendiri merupakan upaya untuk menghentikan wabah penyakit seperti dalam sabda Rasulullah “wahai hamba-hamba Allah, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit melainkan membuat pula penyembuh untuknya [atau ia mengatakan obat] … … … (HARI Abu Isa Tirmidzi).
Solusi vaksinasi ini tentu saja kembali menimbulkan polemik bagi sebagian kalangan masyarakat. Pertama karena adanya keraguan pada pengembangan vaksin yang dilakukan dengan periode waktu yang cukup cepat, yaitu sekitar 1 tahun saja. Hal ini berbanding terbalik dengan vaksin-vaksin lain yang masa pengembangannya memakan waktu bertahun-tahun. Ini kemudian menimbulkan kekhawatiran dari sebagian masyarakat terhadap efek samping atau dampak dari vaksin tersebut terhadap yang menerimanya (Pranita, 2020). Selain itu, ada pula yang meragukan sifat kehalalan dari vaksin yang dikembangkan dan diproduksi. Serupa dengan vaksin-vaksin sebelumnya, ada kecurigaan pengembangan vaksin yang mengandung unsur babi yang membuatnya menjadi haram (Wirawan, 2020).
Terkait hal ini, MUI sebenarnya telah mengeluarkan fatwa tentang imunisasi pada tahun 2016. Memang di dalam ketentuan umumnya, MUI menjelaskan bahwa wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. Namun di sisi lain, MUI juga membolehkan penggunaan vaksin haram dengan beberapa ketentuan, yaitu digunakan pada kondisi al-dlarurat (keterpaksaan) atau al-hajat (keterdesakan), belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci, serta adanya keterangan tenaga media yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal. Bahkan dalam fatwa tersebut disebutkan pula hukum vaksin menjadi wajib apabila penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian, penyakit berat, maupun kecacatan permanen (MUI, 2016).
Dari keterangan di atas, sudah terlihat bahwa kita perlu mengutamakan kondisi ad-dlarurat dan al-hajat dari kondisi pandemi yang melanda dunia saat ini. Untuk wilayah D.I. Yogyakarta saja, saat ini sudah ada lebih dari 10.000 orang yang terinfeksi COVID-19, di mana 226 diantaranya telah meninggal dunia (DIY, 2020). Penambahan penderita terinfeksi virus ini pun semakin cepat menyebar, yang mana hanya pada 24 Desember lalu saja tercatat penambah 253 kasus baru dalam satu hari (Tribun Jogja, 2020). Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan dan mendesak untuk dilakukan penanganan dalam mencegah penyebaran virus ini lebih lanjut. Cepatnya persebaran virus yang diikuti dengan banyaknya korban jiwa menjadi alasan kuat bagi kita untuk mendukung upaya vaksinasi ini. Memang vaksin ini bukanlah hal yang paling efektif di dalam mengatasi pandemi ini. Hal ini dikarenakan belum ada vaksin yang 100% memberikan kekebalan terhadap virus COVID-19. Vaksin juga bukan obat untuk menyembuhkan penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut. Dari sisi agama, juga belum ada pengetesan terkait status kehalalan dari vaksin itu sendiri. Namun, vaksin merupakan salah satu solusi terbaik yang dimiliki saat ini. Bukan dengan menyembuhkan, namun dengan menciptakan herd immunity guna mencegah penyebaran lebih lanjut dari COVID-19, sehingga lambat laun virus ini dapat hilang dengan sendirinya dalam masyarakat.
Meski begitu, perlu diingat bahwa dengan vaksin bukan berarti secara otomatis COVID-19 akan hilang secara cepat. Diperlukan waktu untuk vaksinasi seluruh penduduk, yang mana Indonesia sendiri terdiri atas lebih dari 230 juta penduduk. Realisasi distribusi vaksin akan memiliki tantangan tersendiri dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan beragam tipografi wilayahnya. Ketersediaan vaksin sendiri juga menjadi salah satu kunci, yang mana terkait dengan kapasitas produksinya, yang juga akan mempengaruhi waktu produksi vaksin sejumlah penduduk Indonesia.
Sebagai ikhtiar bersama dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini, kita perlu berperan aktif di dalam menjaga diri serta menghambat penyebaran virus tersebut. Dimulai dari kebiasaan menjalankan protokol kesehatan di kehidupan sehari-hari, dari menggunakan masker dengan benar, mencuci tangan, hingga menghindari kontak langsung dan menjaga jarak dengan sesama. Vaksinasi merupakan langkah berikutnya yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi dalam menekan laju persebaran virus ini dengan meningkatkan kekebalan imunitas tubuh sehingga kita tidak menjadi transmitter dari virus tersebut.
Bibliography
Aminondi, A. (2018, Agustus 22). Vaksin MR ‘Tidak Halal’: MUI Pusat Bolehkan Karena Darurat, di Daerah Masih Ada yang Menolak. Retrieved from BBC Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45248643
DIY, P. (2020, Desember 25). Laporan Harian COVID-19. Retrieved from Yogyakarta Tanggap COVID-19: https://corona.jogjaprov.go.id/
Hughes, R. (2019, Juni 20). Vaksinasi: Sejarah Imunisasi dan Alasan Mengapa Masih Ada Orang yang Ragu-Ragu Walau Telah Menyelamatkan Hidup Jutaan Manusia. Retrieved from BBC Indonesia: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-48668611
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Kementerian Kesehatan RI.
MUI. (2016, Januari 23). Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Retrieved from Majelis Ulama Indonesia: http://www.halalmui.org/images/stories/pdf/Fatwa-MUI-No.4-Tentang-Imunisasi.pdf
Nashrullah, N. (2010, September 17). MUI: Hukum Vaksinasi Meningitis Wajib Bagi Calhaj. Retrieved from Republika: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/umroh-haji/10/09/17/134975-mui-hukum-vaksinasi-meningitis-wajib-bagi-calhaj
Poland, G. A., & Jacobson, R. M. (2001). Understanding Those Who do not Understand: A Brief Review of the Anti-Vaccine Movement. Vaccine, 19, 2440-2445. doi:https://doi.org/10.1016/S0264-410X(00)00469-2
Pranita, E. (2020, November 04). 5 Alasan Tak Perlu Khawatir Uji Klinik Fase 3 Vaksin Covid-19. Retrieved from Kompas: https://www.kompas.com/sains/read/2020/11/04/133100823/5-alasan-tak-perlu-khawatir-uji-klinik-fase-3-vaksin-covid-19?page=all
Tribun Jogja. (2020, Desember 24). Update Covid-19 DI Yogyakarta: Hari Ini Terjadi Penambahan 253 Kasus Baru di DIY. Retrieved from Tribun Jogja: https://jogja.tribunnews.com/2020/12/24/update-covid-19-di-yogyakarta-hari-ini-terjadi-penambahan-253-kasus-baru-di-diy
Whitehead, A. L., & Perry, S. L. (2020). How Culture Wars Delay Herd Immunity: Christian Nationalism and Anti-vaccine Attitudes. Socius, 6, 1-12. doi:https://doi.org/10.1177%2F2378023120977727
WHO. (2019, 08 26). Vaccines and Immunization: What is Vaccination? Retrieved from World Health Organization: https://www.who.int/news-room/q-a-detail/vaccines-and-immunization-what-is-vaccination?adgroupsurvey={adgroupsurvey}&gclid=CjwKCAiA8ov_BRAoEiwAOZogwTlL2ndwjO2cRdi_6h4QG0jm3ysTG2JZVVIGJNsrTdkfcfx4NsFT1RoClwcQAvD_BwE
Wirawan, M. K. (2020, Desember 20). Kekhawatiran Umat Islam Indonesia akan Status Halal Vaksin Covid-19 Disorot Media Amerika. Retrieved from Kompas: https://www.kompas.com/global/read/2020/12/20/173249070/kekhawatiran-umat-islam-indonesia-akan-status-halal-vaksin-covid-19?page=all