MENGINTEGRASIKAN NILAI ISLAM DALAM PERKULIAHAN

Oleh : Dr.H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag. Psikoloog–

Beberapa tahun terakhir saya mendapat kehormatan untuk berbagi pengalaman dengan dosen sejumlah perguruan tinggi Islam tentang strategi memasukkan nilai Islam dalam perkuliahan. UIN Semarang, UMS Solo, UM Purwokerto, UIN Pekanbaru, Universitas Islam Riau, IAIN Jambi adalah beberapa universitas Islam yang bersemangat dan berbagi sharing dengan saya.

Setiap kali berbagi, saya merasa agak malu karena menyadari baru sedikit yang bisa saya lakukan. Sekalipun sebagian besar matakuliah yang saya ampu telah dilakukan integrasi sains –dalam hal ini psikologi– dan perspektif Islam, namun apa yang saya lakukan belum benar-benar optimal. Lebih dari itu, saya harus jujur mengakui bahwa secara institusional saya merasa belum berhasil menjadikan “program memasukkan nilai Islam” menjadi acuan bagi sebagian besar atau bahkan semua proses perkuliahan di lembaga yang saat ini saya pimpin. Sekalipun demikian, saya selalu berusaha untuk bersabar dalam melakukan sesuatu yang besar dan penting. Butuh kesadaran bahwa usaha ini butuh waktu yang lama, butuh keterbukaan hati banyak kalangan, butuh konsistensi tanpa batas, dan sebagainya.

Berikut ini adalah beberapa poin yang sering saya sampaikan ke mereka. Pertama: niat. Kepada mereka saya sampaikan bahwa usaha ini harus didasari oleh niat yang baik. Secara umum niat baik itu adalah inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbail ‘alamien (sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku hanya untuk Allah Tuhan alam semesta). Secara khusus niat kita membuat semua orang, teristimewa mahasiswa, menyadari bahwa kebenaran dari Allah itu saling berjalin berkelindan melalui kitab suci, kejadian di alam semesta, dan kejadian yang berlangsung pada diri manusia (QS al-Fushilat, 41:53). Lebih dari sekadar niat baik pribadi, yang tidak kalah penting adalah niat baik yang tersistem dalam organisasi. Organisasi harusnya merumuskan tujuan dan visi dirinya sebagai lembaga yang berkomitmen pada integrasi Islam dan ilmu.

Kedua: Semangat mencari dan menebarkan kebenaran. Sebagai dosen, salah satu tugas kita adalah sebagai ilmuwan yang bekerja terus menerus untuk memperoleh kebenaran. Ilmuwan-ilmuwan muslim di masa lalu seperti Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Khaldun dan yang lain maupun ilmuwan-ilmuwan Muslim kontemporer seperti Ismail al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Hasan Langgulung, Malik B. Badri, dan yang lain, melakukan usaha yang tidak mengenal lelah untuk menyatukan ilmu dan agama demi memperoleh kebenaran yang hakiki. Semangat pencarian kebenaran semacam itu patut diteladani para dosen Muslim. Selain itu, tugas dosen Muslim adalah menebarkan kebenaran yang diperolehnya atau yang diperoleh koleganya kepada para mahasiswa. Sebagai contoh, seorang dosen psikologi dengan merujuk ayat dalam QS. Al ‘Ankabut ayat 45 “inna ash-shalata tanha ani al-fakhsyai wa al-munkar (sesunggunya shalat mencegah atau mengurangi kekejian dan kemungkaran) ketika menerangkan kontrol diri. Salah satu bentuk kekejian dan kemungkaran adalah berperilaku seks pranikah yang meliputi kissing, necking, petting, dan intercourse. Si dosen akan merujuk kepada sebuah riset yang menunjukkan bahwa pelatihan shalat khusyu dapat mengurangi secara signifikan perilaku seks pranikah (Suri & Koentjoro, 2014). Hasil riset ini menunjukan satu hal, yaitu kebenaran teks dan kebenaran empiris saling mendukung.

Ketiga: Metode ilmu yang beragam. Sebagai ilmuwan Muslim, para dosen Muslim perlu memiliki kesadaran bahwa metode keilmuan dalam menggapai kebenaran itu sangat beragam. Sebagaimana dikatakan oleh Osman Bakar dalam Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains (2008, Bandung, Pustaka Hidayah) para ilmuwan Muslim dalam menanamkan dan mengembangkan beraneka sains menggunakan setiap jalan yang terbuka bagi manusia, dari rasiosinasi dan interpretasi kitab suci hingga observasi dan eksperimentasi. Penggunaan metode yang beragam dalam memahami kebenaran akan meningkatkan level kebenaran yang dicapai. Ada materi kuliah yang dikembangkan dari kitab suci, ada yang diambil dari riset survei, ada yang diambil dari riset eksperimen, ada yang dikembangkan dari buku-buku teks, dan sebagainya. Tentu saja, materi yang paling mengkilap adalah yang sudah memperoleh dukungan irfani (kesucian hati), bayani (berbasis nash/teks), dan burhani (berbasis penalaran). Jangan sampai kuliah hanya berdasar satu sumber, misalnya satu buku teks. Padahal kebenaran diperoleh juga dari renungan/refleksi, pengalaman dari orang-orang yang menggeluti bidang tertentu, hasil riset, dan sebagainya.

Keempat: penulusain buku teks. Kita perlu membarengi niat baik memasukkan nilai Islam ke dalam matakuliah dengan membuat buku daras (buku teks) yang menjadi bahan dasar perkuliahan. Pimpinan unit (universitas/fakultas/jurusan/prodi) semestinya memberikan dukungan dan fasilitas agar para dosen mampu menghasilkan buku teks yang akan jadi rujukan mahasiswa. Tentu saja dosen perlu bersemangat mendukung program lembaga ini dengan menulis buku-buku teks sesuai dengan matakuliah yang diampunya. Produk tulisan mereka ini harus disebar melewati batas kampusnya agar dapat menjadi pencerah bagi dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi lain. Sekalipun begitu, dosen-dosen Muslim semestinya tetap menjaga semangatnya sekalipun pimpinan lembaganya tidak memberi dukungan dan fasilitas. Dukungan orang lain atau lembaga pastinya bermanfaat. Namun, tanpa itu kita harus tetap melangkah menebar rahmat dan manfaat.

Kelima: Dukungan sistem. Usaha memasukkan nilai Islam hanya akan berdampak optimal kalau sistem organisasi mengharuskan untuk itu. Harus ada kesepakatan organisasional bahwa program memasukkan nilai Islam sebagai visi bersama. Selanjutnya, harus dilakukan program yang kongkrit dan dilakukan pula pengukuran sejauh mana nilai Islam itu benar-benar masuk dalam perkuliahan. Bila niat baik tidak didukung oleh sistem yang baik, maka mimpi hanya tinggal catatan manis di atas kertas. Hal kongkrit yang dapat dilakukan adalah membuat kurikulum yang berkomitmen pada upaya memasukkan nilai Islam, mewajibkan dosen memasukkan nilai Islam dalam perkuliahan dan melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran tentang sejauh mana nilai Islam telah benar-benar dalam perkuliahan.

Demikian. Wallahu a’lam.

 

*Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog adalah dosen program dosen  Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII/Wakil Ketua Dewan Pakar PP API Himpsi.