Menyikapi “Luapan” Informasi di Tengah Wabah Covid 19 dalam Perspektif Etika Komunikasi Islam

OLeh : Puji Rianto (Dosen Ilmu Komunikasi UII)–

Dalam situasi krisis seperti wabah corona (Covid 19) seperti sekarang ini, kebutuhan khalayak akan informasi meningkat pesat. Ini karena krisis selalu mengundang ketidakpastian, dan manusia senantiasa berusaha untuk mengurangi ketidakpastian itu dengan bertanya. Informasi dalam situasi krisis tidak hanya penting untuk mengurangi ketidakpastian yang menimbulkan kegelisahan, tetapi sekaligus menuntun kita untuk bersikap. Berbeda dengan era komunikasi tradisional di mana sumber-sumber informasi terbatas, tidak demikian di era digital. Kita memiliki sumber informasi yang berlimpah yang bahkan menciptakan oleh apa yang disebut James Potter (2011) sebagai “kelelahan informasi”(“information fatique”). Ini terjadi karena setiap hari kita mendapatkan beragam informasi yang begitu berlimpah, tetapi sayangnya tidak mempunyai perangkat yang cukup untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak? Ironisnya, dalam situasi krisis, orang-orang bukan hanya didorong untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya, tapi sekaligus memicu munculnya kabar bohong (hoax). Di era media baru, hoax menyebar jauh lebih cepat dan luas (lihat Kapolkas, 2019; Gunawan dan Rukmono, 2018).

Lister et.all (2009) mengatakan bahwa di era media baru, setiap orang bisa menjadi produsen dan penerima pesan sekaligus. Oleh karena itu, konsep yang pas untuk orang-orang yang aktif menggunakan media baru (new media) adalah “pengguna (user)”. Ini menjadi ciri khas yang membedakannya dengan era media lama (old media). Tidak hanya itu, seseorang dapat menampilkan diri sebagai “saluran atau chanel” dalam model komunikasi linear ketika hobinya meneruskan atau sharing informasi ia lakukan tanpa mempertanyakan informasi tersebut secara kritis. Akibatnya, informasi apapun dan pendapat siapapun bisa viral dengan cepat, dan dipercaya oleh banyak orang meskipun si pembuat informasi tidak jelas dan mungkin tidak memiliki pengetahuan otoritatif. Tom Nichols (2019) menyebut fenomena ini sebagai matinya kepakaran. Namun, di balik itu, ada bahaya yang mengintip, yakni meluasnya kabar bohong (hoax). Sebagai contoh, beredar puisi yang ditulis oleh Mustofa Bisri, ulama Nahdlatul Ulama, pengasuh pondok pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, dan sekaligus Rais Syuriah PBNU. Puisi itu beredar luas melalui kelompok percakapan WhatsApp. Namun, puisi itu ternyata bukan ditulis oleh Mustofa Bisri, tetapi orang lain. Penelitian yang baru saja dilakukan oleh kolega saya di PR2Media, Wendratama (2020), menyebutkan bahwa responden menganggap lebih dari 30% informasi mengenai Corona yang beredar terutama di WhatsApp adalah hoax. Pertanyaannya adalah, dalam menghadapi situasi ini, bagaimana Islam memberikan tuntunan ketika menghadapi hoax?

Persoalan hoax atau kabar bohong adalah persoalan komunikasi, dan Islam telah memberikan tuntunan dalam hal ini. Islam memberikan kaidah-kaidah atau norma-norma etika dalam berkomunikasi, dan terutama menyikapi berita-berita yang beredar luas di masyarakat.

Secara etimologis, etika berarti perbuatan, dan hal itu berkaitan dengan Khuliq (Pencipta) dan Makhluk (Yang diciptakan). Dalam bahasa Arab, etika berasal dari kata jamak “Akhlaq” di mana kata mufrad-nya (bentuk tunggal) adalah khulqu yang berarti sajiyah (perangai), mur’ūah (budi), thab’in (tabiat), dan adāb (adab atau kesopanan) (lihat Alfan, 2011).

Etika dapat dipahami sebagai (1) esensi dan dasar perbuatan; (2) keputusan yang benar; dan (3) prinsip-prinsip yang mendasari suatu penilaian atau klaim bahwa hal-hal tersebut, secara moral terpuji atau tercela (Alfan, 2011). Menurut Magnis-Suseno (1987), etika hendak menjawab masalah fundamental yang harus dihadapi oleh setiap manusia, yakni bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Manusia dalam kehidupan kesehariannya senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan sikap dan tindakan karena manusia adalah makhluk bebas. Ia mempunyai kebebasan untuk bertindak secara otonom, baik kebebasan dalam pengertian eksistensial maupun kebebasan sosial.

Dalam Islam, etika tidak hanya soal manfaat seperti digagas oleh filsuf John Stuart Mill dengan etika utilitarianismenya atau kewajiban moral Immanuel Kant dengan etika deontologisnya. Sebaliknya, etika Islam bersumber pada prinsip-prinsip agama. Dalam pemikiran Islam, keislaman menentukan perbuatan dan keyakinan sehingga etika harus bersandar pada metafisika logis sebab dalam hidupnya tingkah laku seseorang akan dinilai (Afan, 2011). Dalam Islam, penilai tertinggi itu adalah Allah sebagaimana dikemukakan dalam Q.S. Al-Zalzalah: 7-8 berikut.

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ. فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”

Berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbuatan manusia yang luput dari pengawasan Allah SWT. Jika seorang muslim berbuat baik, maka sekecil apapun akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Sebaliknya, seorang muslim yang berbuat keburukan dan dosa, maka juga akan mendapatkan balasannya dari Allah SWT. Dalam perspektif yang luas, etika adalah merenungkan dan memikirkan dengan seksama setiap perbuatan yang akan dilakukan. Dalam hal ini, Islam mengajarkan bahwa “seluruh kegiatan hidup, sampai pada kematian sekalipun, semata-mata dipersembahkan kepada Allah. Tujuan hidup dalam pandangan Islam adalah semata mendapatkan ridho Allah (mardhātillahā)” (Alfan, 2011). Tentu saja, ridho Allah itu akan didapatkan seorang muslim jika dalam keseluruhan hidupnya sesuai dengan tuntutan agama sebagaimana firman berikut.

وَادْخُلِي جَنَّتِي. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً.  يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

Artinya: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai; lalu masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS al-Fajr: 27-30).

Jika orientasi kehidupan seorang muslim mencari ridho Allah SWT, maka demikian halnya dalam berkomunikasi. Dalam komunikasi, Islam mengajarkan tiga hal penting, yakni ketika kita menjadi komunikator (orang yang menyampaikan pesan), apa yang kita sampaikan (pesan), dan komunikan (orang yang menerima pesan komunikasi). Ketika menjadi seorang komunikator, ada dua hal harus kita perhatikan, yakni apa yang kita sampaikan dan bagaimana kita menyampaikan. Mengenai apa yang disampaikan (isi pesan), haruslah senantiasa benar. Artinya, Islam tidak menghendaki kebohongan bahkan jika kebohongan itu demi tujuan baik. Dalam Q.S. Al-Isra’: 53, Allah berfirman sebagai berikut.

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا

Artinya: “Dan katakanlah kepada para hamba-Ku hendaknya mereka mengatakan perkataan yang terbaik. Sesungguhnya syetan itu melakukan hasutan di antara mereka. Sesungguhnya syetan adalah musuh yang nyata bagi manusia”

Kata al-làti dalam firman di atas menunjukkan sesuatu yang disampaikan atau materi pembicaraan (Taufik, 2012). Dalam kaitan ini, seorang muslim sebagai hamba Allah hendaknya selalu mengatakan perkataan yang baik, perkataan yang tidak menyakiti orang lain dan menimbulkan amarah. Sebab, jika seorang muslim mengatakan sesuatu yang buruk, maka syetan akan menyebarkan pertentangan dan permusuhan (Taufik, 2012).

Selain bahwa seorang muslim ketika menjadi komunikator atau penyampai pesan harus mengatakan hal-hal baik, apa yang ia katakan haruslah jujur. Ha-hal yang disampaikan harus berisi kejujuran. Dalam surah An-Nisa ayat 9 Allah berfirman sebagai berikut.

وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا

Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”

Qaulan sadidan dalam kalimat terakhir ayat di atas merujuk pada perkataan benar. Para ahli tafsir sepakat bahwa Qaulan sadidan artinya benar, lurus dan jujur serta adil, tidak ada rekayasa atau penyimpangan informasi (Taufik, 2012). Gambaran kebenaran, kejujuran, keadilan, dan perkataan lurus dalam ayat di atas menunjukkan konteks pembicaraan yang berhubungan dengan materi, kekwatiran, dan keturunan yang secara pesikologis sering menimbulkan kebohongan atau penyelewengan kebenaran (Taufik, 2012).

Ajaran etika berikutnya adalah ketika seorang muslim menjadi komunikan, yakni ketika menerima informasi. Dalam kaitan ini, etika Islam mengajarkan untuk senantiasa menguji kesahihan sumber informasi. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat: 6 sebagai berikut.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”

Menurut Taufik (2012), firman di atas mencerminkan sisi komunikasi Islam. Ia tidak mencakup sumber informasi, sikap penerima, dan akibat yang ditimbulkan. Penyebaran berita bohong merupakan suatu yang keji, dan karenanya Allah SWT akan memberikan azab yang pedih seperti firman Allah dalam Q.S. Na-Nur: 19.

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui”

Dari ayat di atas, menjadi sangat jelas bagaimana Islam sangat tegas dalam menyikapi kabar bohong (hoax). Pertama, kabar bohong merupakan hal buruk, dan penyebarnya adalah seorang yang keji sehingga akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Kedua, sebagai seorang muslim, agar tidak terhindar dari kabar bohong, maka kita harus senantiasa menguji sumber berita. Apakah sumber beritanya dapat dipercaya ataukah tidak? Oleh karena itu, motif-motif sumber berita beserta kepentingan-kepentingannya harus dicek. Ini karena dalam motif dan kepentingan itulah termaktub hasrat-hasrat di dalamnya. Apakah penyebaran informasi demi sesuatu yang baik ataukan tidak?

Penutup

Dari keseluruhan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam telah memberikan panduan dalam berkomunikasi, baik dalam situasi normal maupun dalam situasi krisis di mana kabar bohong mudah menyebar. Etika komunikasi Islam mengajarkan kepada kita dalam dua hal pokok. Pertama, sebagai penyampai pesan, kita harus jujur. Apa yang disampaikan harus jujur dan benar. Dengan kata lain, kita tidak boleh berbohong. Seorang muslim, mestinya dengan alasan apapun, tidak akan menyampaikan kebohongan karena bohong adalah sesuatu yang keji dan dibenci Allah SWT. Kedua, sebagai komunikan, penerima pesan, kita harus senantiasa kritis kepada sumber berita. Dalam istilah populer, kita harus ber-tabayyun. Kita tidak boleh begitu saja menerima atau menyebarkan informasi meskipun sesuai dengan keinginan kita. Sebaliknya, kita harus selalu menguji kesahihan sumber berita. Dengan cara demikian, kita akan dihindarkan pada hal-hal yang dibenci oleh Allah SWT.

Referensi

Alfan, Muhammad (2011). Filsafat Etika Islam. Bandung: Penerbit Pustaka Setia

Gunawan, Budi dan Barito Mulyo Ratmono (2018). Kebohongan di Dunia Maya. Jakarta: KPG

Kapolkas, Ignas (2019). A Political Theory  of Post-truth. Springer Nature Switzerland AG: McMillan Palgrave

Lister, Martin; John Dovey, Seth Giddings, Iain Grant & Kieran Kelly (2009). New Media: Critical Introduction. second edition. London and New York: Routledge

Magnis-Suseno, Franz (1987). Etika Dasar: Masalah-Masalah Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius

Nichols, Tom (2019). Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya. Terjemahan oleh Ruth Meigi P, Jakarta: Kompas Pustaka Gramedia

Potter, James W (2011). Media Literacy. 5th edition. Los Angeles, London, New Delhi: Sage Publications

Taufik, H. T. (2012). Etika Komunikasi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Wendratama, E (2020). “Sekadar Mengingatkan: Misinformasi Pandemi Paling Banyak di WhatsApp”. https://theconversation.com/sekadar-mengingatkan-misinformasi-pandemi-paling-banyak-ada-di-whatsapp-135430