Laboran Komunikasi Kembali Ukir Prestasi

Marjito Iskandar Tri Gunawan, A.Md

Laboran  Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Marjito Iskandar Tri Gunawan,A.Md kembali mengukir prestasi di tingkat nasional atau tepatnya di ajang Kompetisi Film Pendek Dokumenter Muktamar NU ke-33 2015 yang diselenggarakan di Jombang Jawa Timur, 20 Juni- 10 Juli 2015 lM / 3-23 Ramadhan 1436 H lalu dan baru diumukan pada 1 Agustus 2015 M/16 Shawwal 1436 H. Melalui karya filmnya berjudul ‘Bulan Sabit di Kampung Naga’ berdurasi 19 menit 52 detik, pemilik sapaan Mas Gun ini berhasil meraih Juara Pertama dari 15 judul film yang masuk nominator (15 nominator dari 69 total judul film pendek yang masuk ke meja panitia lomba). Atas prestasi tersebut, mas Gun berhak mendapatkan hadiah uang sebesar Rp 20 juta.

 

Menurut sang Sutrada, film ‘Bulan Sabit di Kampung Naga’ yang sebenarnya merupakan film proyek penelitian kolaborasi antara Muzayyin Nazaruddin, S.Sos., MA, Ali Minanto, S.Sos., MA beserta mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, bercerita tentang Islam yang seharusnya membawa misi ‘rahmatan lil ‘alamin’, bukan ‘rahmatan lil muslimin’, apalagi ‘rahmatan lil nahdliyin’. Semangat menjadi rahmat bagi semesta alam tersebut mewujud dalam banyak hal dan aktivitas. Salah satu bukti yang pantas direkam adalah situs Pecinan Lasem dengan Pesantren Kauman di dalamnya.

Masih menurut mas Gun (Sutrada), Pecinan Lasem adalah situs yang menyimpan jejak multikulturalisme yang sangat penting bagi bangunan keindonesiaan. Lasem menjadi ruang yang mempertemukan berbagai etnik dan agama: Jawa, Cina, Arab, Islam, Kristen, Katolik, dan Konghucu. Jejak itu masih terekam dengan jelas dalam lanskap Lasem kekinian, baik sebagai kawasan Tiongkok Kecil maupun sebagai wilayah multikultur dengan tata pergaulan yang cair dan terbuka antar kelompok yang berbeda. Nuansa itu sangat terasa saat menyusuri Sodetan dan Karang Turi, dua desa yang dikenal sebagai kawasan Pecinan Lasem. Di Karangturi, tidak hanya tinggal peranakan Tionghoa, tapi juga berdiri Pesantren Kauman, tempat para santri mengkaji pemikiran keislaman. Pesantren Kauman terkesan unik karena menggunakan ornamen-ornamen Tionghoa: bangunan, lampion, dan sebagainya

Mas Gun menambahkan bahwa akulturasi tidak hanya muncul secara simbolik, tapi juga mewujud dalam pola pergaulan yang cair antara warga pesantren dengan warga Tionghoa yang tinggal di sekelilingnya, juga antara warga Jawa dengan Tionghoa secara umum, tanpa dibatasi sekat agama maupun etnis. Pesantren tidak menjadi ruang eksklusif yang hanya mentransformasikan nilai-nilai Islam kepada santri, tapi mengambil peran aktif dalam membangun kesadaran toleransi. Sikap toleran semakin menemukan momentumnya pada saat seremoni dan peristiwa-peristiwa keagamaan, seperti di Bulan Suci Ramadhan, Lebaran, dan Hari Raya Imlek dimana kelompok santri kerap terlibat dalam ritual kebudayaan etnis Tionghoa. Begitu juga sebaliknya, warga Tionghoa aktif berpartisipasi dalam berbagai ritual budaya umat muslim.

Interaksi multikultur yang sudah berlangsung sangat lama ini telah membangun kesadaran akan pentingnya dialog antarpihak. Pada akhirnya, sikap hidup ini yang membuat masyarakat Lasem sanggup meredam potensi konflik yang muncul, semisal potensi radikalisme maupun kekerasan antar umat beragama. Di tengah maraknya gerakan radikalisme dan kekerasan mengatasnamakan agama, Lasem tampaknya mampu menjadi oase yang menyejukkan.