Prodi Hubungan Internasional FPSB UII Kaji Kebijakan Luar Negeri

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;}

“Politik yang baik itu harus continuity and change, yakni melanjutkan kebijakan pemimpin sebelumnya (kebijakan yang baik dan menguntungkan bagi bangsa Indonesia) dan melakukan perubahan yang penting (baca: yang baik dan menguntungkan bagi bangsa Indonesia-Negara)”. Demikian pernyataan yang disampaikan Dr. Siti Muti’ah S. MA, dosen Prodi Hubungan Internasional (HI) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta saat menyampaikan materi kuliah pakar yang digelar oleh Prodi Hubungan Internasional (HI) Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Kamis, 26 Maret 2015 di Auditorium FPSB UII.

Dalam paparan lengkapnya, pemilik sapaan akrab ‘Bu Titik’ ini mencoba membandingkan rangkaian kebijakan dari para pemimpin bangsa Indonesia yang pertama kali (Presiden Soekarno) hingga pemimpin bangsa Indonesia saat ini yang diemban oleh Joko Widodo. Sejarah mencatat berbagai upaya para pemimpin terdahulu dalam membuat kebijakan politik luar negeri yang menyejahterakan rakyat (umum), melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan turut serta melaksanakan ketertiban dunia dan berjuang menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas dunia. Namun demikian, para pemimpin terdahulu memang belum ada yang secara serius mengelola sumberdaya laut yang ada.

“Kebijakan pemerintahan Jokowi yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dengan 5 pilarnya itu sangat baik. Karena memang negara kita 2/3 nya terdiri atas lautan. Tinggal bagaimana pelaksanaannya nanti. Akan memberi keuntungan bagi Negara kita (baca: jika benar dalam pengelolaannya) atau justeru malah merugikan (baca: jika salah dalam pengelolaan). Kelima pilar itu antara lain adalah 1) komitmen membangun budaya maritim Indonesia, 2) komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama, 3) komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut dalam, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim, 4) komitmen melakukan diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerjasama pada bidang kelautan, 5) sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim. Kalian (baca: peserta kuliah pakar) adalah para penerus yang akan turut mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut”, ungkap Bu Titik.

Lebih jauh Bu Titik juga mengatakan pentingnya setiap warga negara (khususnya para nelayan) untuk dapat memahami dan mematuhi aturan internasional terkait dengan perbatasan maritim. “Terkait kebijakan menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Puji Astuti sebenarnya saya sangat miris. Saya khawatir kalau nanti ada balas dendam. Pasalnya, sampai saat ini masih banyak nelayan kita yang melanggar batas-batas maritim negara lain dalam mencari ikan hanya dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap batas maritim”, pungkasnya.