Jaga Diri di Masa Pandemi Covid-19

Oleh : Dr. Retno Kumolohadi, S.Psi. M.Si. Psikolog—

Pemerintah Indonesia mengkonfirmasi kasus covid-19 dan membuat pengumuman secara resmi keberadaannya sejak 2 maret 2020.  Sebenarnya, keberadaan kasus itu diduga sudah sejak januari 2020. Selanjutnya penyebaran kasus terjadi sangat cepat di seluruh pelosok Indonesia dan yang paling parah terjadi di Pulau Jawa dan Bali. Hingga saat ini pandemi sudah terjadi dalam kurun waktu 1,5 tahun dan belum ada tanda-tanda penurunan secara bermakna. Masih tingginya jumlah kasus terkonfirmasi covid-19 mau tidak mau membuat masyarakat mengubah gaya hidup agar penyebaran virus lebih terkendali.

Perubahan kebiasaan untuk meningkatkan daya imunitas

Masyarakat perlu lebih menjaga secara fisik dengan menerapkan protokol kesehatan saat berinteraksi dengan orang lain. Memakai masker dan atau faceshield, cuci tangan beberapa kali dengan sabun, menggunakan handsanitiser perlu benar-benar menjadi pola kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan. Upaya lain untuk menjaga diri yaitu peningkatan imunitas tubuh melalui pola makan dan minum termasuk mengkonsumsi vitamin bila perlu, tidur cukup, berjemur sinar matahari pagi, berolah raga teratur dan mengikuti program vaksinasi. Perilaku ini merupakan kebiasaan baru yang oleh sebagian orang tidak mudah untuk dipatuhi secara tertib.

Program vaksinasi untuk upaya kekebalan kelompok (herd immunity) telah dilaksanakan dan data mutakhir sudah menembus 50 juta lebih penduduk mendapat suntikan. Herd Immunity sendiri merupakan situasi dalam kelompok yang terlindungi atau cukup kebal terhadap penyakit.  Apabila terpapar pun, diharapkan tidak parah bila sudah divaksin. Tidak hanya diri sendiri yang terlindungi.  Sejumlah kelompok rentan dan yang bukan sasaran vaksinasi menjadi ikut terlindungi apabila sebagian masyarakatnya mendapat vaksinasi. Kekebalan kelompok yang hendak dicapai untuk covid-19 yaitu minimal mendekati 80 % di akhir tahun 2021.

Jauhi dan lindungi fisik dari wabah

Islam sebenarnya telah memberikan jalan menyikapi kondisi yang sama seperti saat ini, yaitu ketika terjadi suatu musibah berupa wabah penyakit.  Allah berfirman dalam QS. At Taqabun, ayat 11

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ – ١١

Artinya: Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Wabah penyakit selayakya dihindari. Perintah ini juga diungkapkan oleh Rasullullah Muhammad SAW dalam hadits, “Dan larilah dari penyakit lepra sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.” (HR. Bukhari). Rasulullah SAW juga memerintahkan untuk menjauhi suatu negeri yang terdampak wabah. “Apabila kamu mendengar penyakit itu menjangkit suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR. Bukhari Muslim)

Dengan demikian, seorang muslim perlu menyadari bahwa musibah itu datang atas izin  Allah. Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan makhlukNya, termasuk ketika datang wabah. Seorang muslim diminta untuk bersikap hati-hati dan jangan lengah apalagi gegabah menghadapi wabah.  Ketika ada wabah, maka sikap yang bijaksana yaitu menghadapinya dengan menjaga jarak dari penyebab wabah. Ikhtiar fisik semaksimal mungkin dilakukan agar tidak terkena wabah.

Pembatasan aktivitas sosial dan dampak psikologisnya

Perubahan lain yang perlu dilakukan pula yaitu berupa pembatasan interaksi sosial. Dari yang semula bebas berbicara bertatap muka dari jarak dekat, sekarang harus menjaga jarak sosial paling tidak 1-2 meter. Masyarakat menjaga diri agar tidak berada dalam kerumunan. Berkunjung menjalin tali silaturahmi, menghadiri pengajian, shoat berjama’ah di masjid, merayakan hari-hari besar dan bentuk-bentuk kegiatan sosial keagamaan lainnya tidak bebas lagi dilakukan.  Padahal, kegiatan ini tidak saja bernilai ibadah, namun juga bertujuan untuk saling mengakrabkan, menumbuhkan kepedulian dan meningkatkan semangat beragama  Bagi umat muslim, wajar apabila muncul perasaan kecewa karena tidak lagi dapat mengikuti kegiatan-kegiatan ini.

Silaturahmi, pengajian dan perayaan hari besar keagamaan dihimbau dilakukan secara daring dari rumah saja. Sementara itu, sholat berjama’ah sangat disarankan dilakukan bersama dengan keluarga di rumah. Hal yang sama bahkan harus dilakukan terhadap segala aktivitas saat bekerja maupun bersekolah. Namun demikian, komunikasi semacam ini terasa ada yang kurang dan hilang, bahkan pada awalnya terasa canggung dilakukan. Tatap muka secara fisik, jarak personal yang dekat dirasakan lebih akrab dan menyenangkan. Penelitian Coroiu (2020) serta Hassan, Ring dan Gabbay, (2021). menguatkan pandangan bahwa penetapan jarak sosial dalam komunikasi di masa pandemi covid-19 ini memang mengandung banyak tantangan.

Sebagai makhluk sosial, komunikasi melalui tatap muka, hasrat untuk berkumpul itu dapat memberikan kontribusi besar bagi kehidupan sosial. Individu makin  memiliki kedekatan dan keterikatan satu sama lain yang lebih kuat (sense of belongingness).  Meski demikian, para ahli di berbagai negara memiliki anggapan yang sama bahwa pertemuan secara daring tetap menjadi pilihan paling realistis untuk saat ini. Melalui daring, diharapkan tetap terjalin perasaan terkoneksi, kepedulian, dan kesempatan berbagi. Cara ini lebih dapat menjaga keselamatan diri dan orang lain serta meningkatkan kesejahteraan bersama.

Kondisi kesehatan mental

Penelitian WHO antara bulan Juni sampai dengan Agustus 2020 menunjukkan bahwa 93 % penduduk di 130 negara mengalami perubahan gaya hidup, sehingga membawa konsekuensi terhadap peningkatan akses pelayanan kesehatan mental untuk berkonsultasi.  Paling sedikit 2 % anggaran nasional dikeluarkan untuk menjaga kesehatan mental. Menjaga kesehatan mental mencakup mengupayakan kesejahteraan psikologis. Hal itu ditandai dengan kesadaran individu terhadap kemampuannya, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitas.

Dalam ajaran Islam, cakupan kesehatan mental tidak hanya berupa kesejahteraan psikologis individu, namun juga ketenangan hati dalam limpahan rahmat dan kasih sayang Allah SWT.  Nabi Muhammad SAW pun pernah lama sekali berada dalam kondisi mental yang menurun.  Selama periode 10 tahun masa kenabiannya, Nabi Muhammad  mengalami tahun kesedihan (“amul huzni).  Pada tahun-tahun kesedihan tersebut, Nabi Muhammad mengalami banyak peristiwa buruk dalam upaya berdakwah.

Sedih yang berkepanjangan dapat menghadirkan penyakit mental,  demikian menurut  filsuf muslim, Al Kindi (Najati, 2002).  Pemikiran Al Kindi tentang adanya gangguan kejiwaan yang diakibatkan rasa sedih termuat dalam  Risalah al Hillah li Daf’I al-Ahzan. Penyebab sedih menurut Al Kindi sebenarnya berakar dari alam pikiran manusia yang cenderung irrasional.  Sedih terjadi terutama karena adanya kekecewaan tidak dapat memenuhi keinginan duniawinya. Ibnu Miskawaih menambahkan biasanya orang sedih itu karena ada penyesalan atau rasa kehilangan. Jati diri manusia terletak pada jiwanya. Jiwa yang sakit perlu mendapat penanganan serius.  Al Kindi menganggap bahwa tidak mungkin orang menghindari suatu masalah atau bencana, sebab itu sudah menjadi hukum alam dalam dunia fana ini.

Sedih  seringkali diiringi pula dengan rasa ketakutan, was-was dan kegelisahan.  Was-was merupakan indikasi adanya godaan syetan atas keimanan kita kepada Allah SWT, seperti tersebut dalam QS An Nas ayat 5-6

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ – ٤

الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ – ٥

Artinya: dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, yang membisikkan rasa was-was ke dalam dada manusia.

Rasa bosan dan stres terus menerus terkurung di rumah adalah perasaan yang biasa terjadi dalam masa pandemi covid-19 ini,  walau sudah ada solusi komunikasi secara daring.  Masih muncul perasaan sedih, kesepian, hubungan terasa dingin terutama karena tidak bisa bertemu langsung, bersalaman, berpelukan dengan teman dan kerabat. Keadaan menjadi lebih parah ketika mulai ada rasa was was, takut dan bahkan terlalu panik terhadap sinyal-sinyal yang sedikit saja sebagai pemicu tekanan. Seharusnya yang konstruktif adalah tetap waspada dan siaga.

Perasaan negatif berupa stres, perasaan terhambat untuk berinteraksi sehingga mengganggu kehidupan dengan keluarga besar, komunitas, sosial dan religius  terjadi pada masyarakat muslim (Hassan, Ring dan Gabbay, 2021).  Ada rasa tak berdaya menghadapi keadaan yg tidak dapat dikendalikan dan keadaan yang seperti tak ada ujungnya.  Semua emosi negatif tersebut perlu ditangani sesegera mungkin agar tidak berlanjut.  Apabila dikembalikan pada QS. An Nas mengenai perasaan was-was yang dimiliki hendaknya tidak dipelihara, sebab besar kemungkinan bahwa itu merupakan bisikan syetan yang mengganggu stabilitas mental seseorang.

Salah satu faktor yang cukup berperan penting memengaruhi kesehatan mental yaitu faktor kepribadian. Kepribadian seseorang yang tidak mendukung contohnya yaitu kaku, sensitif, kurang dapat menyesuaikan diri dan memiliki perilaku pengambilan risiko yang tinggi sehingga berbuat nekad. Di samping itu, beberapa pribadi bermasalah memiliki pikiran negatif yang berlebihan. (overthinking). Overthinking (Smith, 2020) berarti pikiran negatif yang menyebabkan ketidakberdayaan dan menghambat penyelesaian masalah. Pikiran negatif tersebut dapat berupa prediksi berlebihan terhadap peristiwa yang akan terjadi, terlalu mendalam memikirkan masalah yang telah berlalu (ruminasi), dan melebih-lebihkan suatu peristiwa dari kenyataannya. Hal ini sangat mungkin terjadi menanggapi penyebaran virus covid-19.

Lingkaran kendali

Setidaknya terdapat dua lingkaran kendali yang perlu dipilah dalam hubungan antara individu dan lingkungannya di masa pandemi covid-19 (WHO, 2020). Lingkaran paling luar yaitu yaitu keadaan yang tidak dapat dikendalikan, sedangkan paling dalam berisi keadaan yg bisa dikendalikan.  Fokuskan pada keadaan yang dapat dikendalikan.  Para ahli kognitif menganjurkan bahwa untuk dapat fokus pada keadaan yang dapat dikendalikan, individu perlu memiliki kecakapan untuk membedakan fakta dan pikiran irrasional (decentering). Fokus pada keadaan yang tidak dapat dikendalikan seperti terpengaruh berita hoaks atau mutasi virus, membuat individu mudah sedih, tak berdaya bahkan menjadi frustasi karena merasa tidak dapat berbuat apapun.

Fokus pada keadaan yang dapat dikendalikan, artinya individu dapat melakukan sesuatu yang memang secara nyata dapat dipenuhinya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Beberapa contoh tindakan yang dapat dipenuhi di masa pandemi covid-19 ini yaitu mematuhi protokol kesehatan, mengelola emosi dan perilaku, melakukan penghematan, mendengarkan rekomendasi pihak otoritas nasional dan lokal, menghindari informasi hoaks dan menanggapi dengan konstruktif penyebaran berita-berita yang beredar tentang covid-19, membatasi berita yang membuat cemas dan tertekan.

Adapun untuk aktivitas sosial yang masih bisa dilakukan yaitu membantu kebutuhan orang lain misalnya dengan kegiatan jum’at barokah, jogo tonggo atau jogo wargo yaitu ketika setiap warga ikut berperan serta dalam menyediakan kebutuhan pangan pada tempat yang disediakan oleh warga setempat. Selain itu dapat pula berupa penggalangan dana, bantuan obat, bantuan tabung oksigen untuk yang sakit karena terdampak covid-19.

Tetap tenang di masa pandemi

Bagi setiap muslim, agar hati menjadi tenang adalah dengan kembali pada Al Qur’an.  Seperti disebutkan dalam firman Allah SWT QS Al Isra’ ayat 82 yang berbunyi

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا – ٨٢

Artinya: Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian.

Al Kindi menyarankan untuk membiasakan berpikir rasional dan membiasakan untuk melakukan hal-hal terpuji agar ketenangan dapat diraih (Najati, 2002). Fokus pada keadaan yang dapat dikendalikan merupakan bentuk dari upaya berpikir rasional tersebut. Selain itu dibutuhkan kesabaran, ketabahan dan kesadaran terhadap eksistensi diri manusia sebagai makhluk yang secara sunatullah terikat pada hukum kefanaan.

Temuan menarik untuk meraih ketenangan pada masyarakat muslim disampaikan oleh Hassan, Ring dan Gabbay (2021) selama masa pandemi covid-19 ini yaitu dengan cara sebagai berikut:

  1. Memperkuat keyakinan religius mengenai ketentuan yang telah digariskan Allah. Telah banyak menyaksikan peristiwa duka kehilangan nyawa, menyebabkan kebanyakan muslim yakin bahwa hal itu merupakan takdir Allah. Rasa syukur masih diberikan kesempatan hidup menjadi lebih terasa untuk saat ini. Hanya dengan melindungi diri dan berbekal kepercayaan Allah akan melindungi dapat memberikan efek menenangkan.
  2. Yakin bahwa pandemi covid-19 ini merupakan ujian. Rasulullah bersabda, “Tha’un (penyakit menular atau wabah) adalah suatu peringatan dari Allah SWT untuk menguji hamba-Nya. Menghadapi ujian ini dengan ikhlas dan yakin bahwa ujian pasti ada akhirnya. Apabila lulus ujian, maka Allah akan memberikan ganjaran berupa kenaikan tingkat menjadi hamba yang lebih bersabar. Konsekuensi semacam ini dapat dikatakan sebagai win-win situation.
  3. Berupaya mengatasi masalah (coping) dengan berdoa dan memohon pertolongan Allah SWT. Oleh karena yakin bahwa pandemi ini ujian, maka upaya terbaik yaitu membuat diri agar kuat menghadapi ujian ini melalui doa dan memohon pertolongan Allah SWT.
  4. Meyakini bahwa ada hikmah dan konsekuensi positif di balik peristiwa pandemi covid-19. Hal yang paling terasa yaitu bahwa ketika harus tinggal di rumah, maka kesibukan bekerja dan rutinitas harian terhadap suami dan anak-anak, semuanya dapat terpusat dari rumah saja.  Waktu dan ruang bersama keluarga menjadi lebih banyak dan sangat berharga untuk menjalin kedekatan  dalam keluarga. Kegiatan ibadah berjama’ah dengan keluarga (doa bersama atau sema”an Al Qur’an), menjadi lebih banyak kesempatan. Lingkungan juga menjadi lebih bersih dari berbagai polusi yang dapat merusak alam.

Cara-cara tersebut di atas merefleksikan upaya positif dalam pengatasan masalah secara religius (positive religious coping), termasuk di dalamnya bertindak adaptif, memiliki kebermaknaan hidup dan menyandarkan diri sepenuhnya  kepada Allah SWT.  Dengan demikian, ketenangan bukan sesuatu yang mustahil dapat diraih.  Wallahu a’lam bis shawab.