UII dan Modernitas Muslim di Indonesia

Berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 27 Rajab 1364 H yang bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945  yang kemudian berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1948 menjadi tonggak sejarah penting proses modernisasi/ modernitas Muslim dan juga lahirnya inteligensia Muslim di tanah air.  Hal ini ditegaskan oleh Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yudi Latif, M.A., Ph.D. saat memberikan materi pada kegiatan kuliah umum bertajuk “Inteligensia Muslim dan Kebangsaan” yang diselenggarakan dalam rangka milad ke-24 Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Senin, 9 Sya’ban 1440 H/15 April 2019 di Gedung Moh. Hatta (Perpustakaan Pusat) UII. Kegiatan yang dimoderatori oleh Hadza Min Fadhli Robby, S.IP., M.Sc., tersebut dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik & Riset UII, Dr. Drs. Imam Djati Widodo, M.Eng.Sc.

Melalui materinya berjudul “Kebangkitan Nasional Menuju jalan Keagamaan”, Yudi Latif memaparkan sejarah tipu daya yang dilakukan oleh pihak kolonial pada bangsa Indonesia dimana mereka hanya memberikan 2 pilihan hidup yakni sebagai nasionalis atau muslim. Padahal bangsa Indonesia bisa menjadi keduanya, bisa sebagai muslim sekaligus nasionalis. Kedua pilihan yang ditawarkan tersebut memang bukan tanpa alasan. Mereka (baca: kolonial) melihat pengalaman di Eropa dimana saat nasionalis/politis dan agamis bersatu justeru melahirkan sebuah tirani yang sangat menindas. Padahal di Indonesia tidak pernah ada pengalaman dimana agama dijadikan alat kekuasaan untuk menindas.

Beliau menambahkan bahwa sejarah nasionalisme dan perjuangan di tanah air justeru digerakan oleh para ulama melalui pondok-pondok pesantren yang tersebar di tanah air. Selain dilandasi semangat anti penjajahan, perlawanan yang dilakukan juga dalam rangka melindungi nilai-nilai budaya bangsa (budaya Timur) dari pengaruh budaya Barat. Seiring berjalannya waktu, pelan namun pasti pengaruh Barat mulai merangsek masuk utamanya sejak revolusi demokrasi di Eropa dimana di Belanda sendiri monarki absolut jatuh dan digantikan dengan monarki konstitusional.

“Rezim liberalisme inilah yang kemudian melahirkan keinginan berinvestasi di Hindia Belanda. Mereka memerlukan buruh. Jika buruh diambil dari Eropa, maka biayanya mahal. Ini yang kemudian menjadi sejarah didirikannya banyak sekolah kaum buruh yang kemudian juga banyak didirikan sekolah untuk kolonial ataupun kalau pribumi adalah anak para priyayi. Ini menjadi awal kemajuan di Indonesia”, ungkapnya.

Dalam perkembangannya, orang-orang mulai sadar akan pentingnya mengapropriasi (menyesuaiakan/mengambil budaya dari Barat) dengan tetap mempertahankan budaya Islam, maka lahirlah Muhammadiyah yang kemudian memodernisasi/modernitas Islam sehingga mempunyai kekuatan resistensi dan menang pada zamanya. Dan pada akhirnya banyak juga ulama intelek yang lahir waktu itu.

“Tonggak terpenting modernisasi Islam adalah saat UII berdiri yang melahirkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Kedua organisasi ini menjadi organ inteligensia muslim pertama di Indonesia pasca kemerdekaan.  Mereka menyatukan kaum terpelajar dan terorganisasi. Dalam perkembanganya, pada tahun 90an mereka menuntut peran-peran politik Islam. Saat mereka ingin, partai-partai Islam malah tidak berdaya. Pada perkembanganya kemudian mereka bisa masuk ke partai-partai pemerintah. Sekarang muncul Islamisasi Modernitas seperti halnya PKS, HTI, dll. Dan apapun wajah intelingensia muslim hari ini saya kira tanggaung jawabnya tidak bisa dilepaskan dari UII,“ imbuhnya.

Selebihnya Yudi Latif juga menerangkan jalan panjang metamorfosis Islam dalam kebangsaan dimana nilai-nilai ideologis bangsa, yakni Pancasila bersumber dari nilai-nilai agama. “Agama dan Pancasila bisa dibedakan, tapi tidak bisa dipisahkan”, tegasnya.

Di akhir paparan beliau mengajak segenap peserta untuk mengedepankan titik temu daripada titik beda. Menjadi orang bergama yang baik juga harus bisa menjadi warga negara yang baik. “Kita berbeda itu tidak untuk saling menghabisi. Yang harus kita rayakan adalah persatuan dalam keragaman”, pungkasnya.