Psikologi Regret Menurut Islam

Islam berbicara tentang penyesalan. Salah satunya disebutkan dalam QS. Al-Qiyamah ayat 2, “Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (lawwaamah)”. Fenomena penyesalan lainnya ditunjukan dalam QS. Al- A’raf ayat 23, berupa ekspresi penyesalan Adam dan Hawa. Kemudian QS. Al-Maidah ayat 31 ditunjukkan ekspresi penyesalan Qabil. Berikutnya, QS. Al Furqon ayat 27, berupa ekspresi penyesalan seorang yang zalim dengan berkata, “Andai saja dulu aku mengambil jalan bersama Rasul.” Demikian banyak ayat Al-Qur’an memberikan data fenomena penyesalan namun kajian Islam mengenai penyesalan apalagi hingga melahirkan sebuah teori relatif langka. Sebaliknya teori penyesalan (regret theory) sudah sangat berkembang di Barat.

Dalam perspektif Barat disebutkan bahwa sebagai makhluk ekonomi, manusia selalu ingin mengoptimalkan hasil transaksi ekonominya. Sejak Herbert Simon (2001), pakar ekonomi sekaligus pakar psikologi kognitif, merumuskan teori bounded rationality yang menyatakan bahwa kapasitas kognitif manusia terbatas. Banyak pakar ekonomi maupun psikologi yang mengasumsikan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, konsumen semestinya akan menghadapi keterbatasan-keterbatasan terutama dalam hal memproses berbagai  informasi yang masuk ke area kognitifnya. Kenyataan ini mengasumsikan bahwa banyak keputusan konsumen berpotensi tidak optimal. Menurut Zeelenberg dan Pieters (2007), setiap kali orang melakukan pilihan atau keputusan yang salah (kurang optimal) akan berimplikasi pada munculnya perasaan “regret”. Satu atau dua kali merasakan regret (penyesalan) mungkin tidak berpengaruh terhadap kondisi mental kita, proses coping kognitif maupun emosional akan mampu mengatasinya. Namun, bila sudah ratusan bahkan ribuan sensasi regret yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, sesuai jumlah keputusan yang diambil, maka persoalannya menjadi serius, yakni bisa menyebabkan depresi.

Dalam pandangan Islam, konsep regret (penyesalan) berkaitan dengan seseorang yang berbuat salah atau dosa kemudian ia menyadari. Ketika muncul kesadaran pasca berbuat dosa, saat itulah individu mengalami regret. Namun regret di sini bukan sesuatu yang buruk, karena dengan adanya rasa penyesalan itu, ia dapat memunculkan perilaku yang lebih baik untuk mengoreksi perilaku sebelumnya. Dalam konteks lain, regret perspektif Islam dimaksudkan sebagai salah satu aspek taubat yang diterima Allah. Orang bertaubat harus mengalami perasaan regret. Tanpa  regret maka taubat hanyalah suatu kebohongan (Nofiar, 2015). Aspek taubat meliputi tiga hal. Pertama, mengalami regret yang kuat. Kedua, bertekad untuk tidak melakukannya lagi. Ketiga, meninggalkan kemaksiatan yang    pernah dilakukan. Syarat terpenting dalam taubat adalah perasaan regret.   Rasulullah saw pernah bersabda bahwa inti dari taubat adalah regret. Karenanya langkah pertama untuk taubat adalah mengakui bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dan menyesali (regret) perbuatan itu

Kategori nafs yang sesuai dengan konsep Barat tentang penyesalan (regret) adalah Nafs Lawwamah. Menurut Robert Frager (2014): Makna lawwamah adalah tidak menerima amalan tercela dan meminta ampunan Allah manakala menyadari perbuatan jeleknya. Pada maqam ini seseorang dapat memahami efek perbuatan negatif dari ego yang lebih condong pada dunia. Perbuatan buruk dirasa memalukan, merasa berdosa, menyesal, namun kembali pada perbuatan salah. Nafs Lawwamah.

Burlian (2013) mendeskripsikan apa itu lawwamah sebagai konsep nafs. Nafs lawwāmah ada dua, yaitu lawwāmah mulāwwamah (mencela dan dicela) dan lawwāmah ghairu mulāwwamah (mencela tetapi tidak dicela). Lawwāmah mulāwwamah adalah nafs yang bodoh, dan zalim yang dicela Allah Swt, dan para malaikat-Nya. Lawwāmah ghairu mulāwwamah adalah nafs yang terus menerus mencela pemiliknya atas keteledorannya dalam mentaati Allah, padahal dia sudah berusaha keras. Nafs seperti ini tidaklah tercela, dan nafs yang paling mulia adalah nafs yang mencela dirinya karena keteledorannya dalam mentaati Allah dan menanggung celaan pencela untuk mendapatkan rida-Nya, sehingga dia tidak peduli dengan celaan pencela, dan nafs inilah yang bebas dari celaan Allah. Sedang nafs yang merasa puas dengan amal-amalnya dan tidak mencela dirinya, serta tidak mampu menanggung celaan para pencelanya di jalan Allah, maka dialah nafs yang dicela oleh Allah.

Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, fenomena regret versi Barat relatif sama dengan Islam, yakni sesuatu yang tidak diinginkan sehingga berharap tidak perlu terjadi. Mereka akan menyalahkan dirinya sendiri dan berandai andai mereka semestinya melakukan hal lain. Namun orientasi konsep regret Barat dan Islam sangat berbeda. Regret versi Barat hanya berbicara masalah urusan duniawi khususnya pengambilan keputusan dalam bidang ekonomi atau bidang lainnya, sementara penyesalan versi Islam berorientasi pada hubungan manusia dan Tuhannya. Sumber kemunculan dari penyesalan juga berbeda, Barat meyakini bahwa penyesalan bersumber di otak (orbitofrontal cortex) sementara Islam menegaskan bahwa sumber   penyesalan itu dalam jiwa (lawwamah).

Najati (2008) mengacu pada Al-Quran dan tidak menggunakan referensi Barat, tetapi penjelasannya tentang “sedih” itu sejalan dengan pemahaman Barat tentang Regret (penyesalan). Ungkapan Najati, “…mencela perbuatannya sendiri dan berandai sekiranya ia tidak melakukannya” sama dengan konsep atau frase Barat untuk konsep regret yakni “what might have been” (Gilovich & Medvec, 1995).

Kesimpulannya, regret versi Barat relatif sama dengan Islam yakni sesuatu yang tidak diinginkan sehingga berharap tidak perlu terjadi. Mereka akan menyalahkan dirinya sendiri dan berandai andai mereka semestinya melakukan hal lain. Namun orientasi konsep regret Barat dan Islam sangat berbeda. Regret versi Barat hanya berbicara masalah urusan duniawi khususnya pengambilan keputusan dalam bidang ekonomi atau bidang lainnya, sementara regret versi Islam berorientasi pada hubungan manusia dan Tuhannya. (Faraz).

 

Sleman, 30 Agustus 2024