Pada Jalan yang Lurus

Fenty Puspitasari, 21/10/2024

Ihdinash shirathal mustaqim

Doa bagi seorang yang beriman adalah upaya menuju keselamatan. Pada doa yang dilangitkan, nikmat dapat diturunkan dan murka bisa dihilangkan. Al Quran mencatat doa-doa indah yang dipanjatkan hanya untuk Ar Rahman. Berawal pada Al Fatihah. Pada surat tersebut, terdapat sebuah doa mulia penuh pengharapan, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”

Maka mari pejamkan mata. Terbayangkah seperti apa jalan yang lurus itu?

Sepertinya jalan yang lurus identik dengan jalan mulus yang bebas rintangan. Di sana, semua terasa lega. Tidak ada kerikil ataupun lubang-lubang jalan yang menghentak. Jika kehidupan berada di atasnya, semua terasa mudah dan menyenangkan. Segala harapan terwujud dan kebahagiaan benar- benar digenggam.

Benarkah demikian?

Lantas pada “shiraathalladziina an’amta ‘alaihim gairil magdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin”, kita jadi tahu bahwa jalan yang lurus adalah jalan orang-orang yang telah Allah berikan nikmat, bukan jalan manusia yang dimurkai dan sesat. Siapakah orang-orang yang beruntung mendapatkan nikmat itu?

Tafsir Ibnu Katsir menyampaikan bahwa orang-orang itu adalah para nabi, shidiqin, mereka yang wafat dalam syahid, dan orang-orang shalih. Jalan yang lurus itu milik mereka, termasuk Yusuf Alaihis Salam yang menderita akibat kedengkian saudaranya, menjadi fitnah karena ketampanannya, dan rangkaian deritanya yang Allah abadikan dalam Al Quran surat Yusuf.

Jalan yang lurus tak diragukan lagi milik Musa Alaihis Salam dengan segala cobaannya. Musa yang sejak kelahirannya berurusan dengan penguasa yang mengaku Tuhan. Musa yang bersitegang menghadapi ulah para penyihir. Hingga pada surat Asy-Syu’ara ayat 60-64 Allah menceritakan bahwa Musa sudah kepayahan di saat genting, namun keyakinannya utuh mengetukkan tongkatnya di Laut Merah karena perintah Tuhannya.

Jalan yang lurus juga dipunyai Maryam. Perempuan yang menjaga kesuciannya namun mengandung anak tanpa ayah di rahimnya. Surat Maryam ayat 22-25 mengisahkan dalam keterasingan di tempat jauh, Maryam bahkan harus berdarah-darah menghabiskan sisa tenaga untuk mendapatkan kurma basah bekal melahirkan. Setelah semua duka cita, kelak lahirlah Isa Alaihis Salam. Dialah pelipur lara Maryam sekaligus utusan Allah yang penuh keshalihan.

Pada kekasih Allah, kita tidak pernah kehabisan teladan. Dalam Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita tentang beratnya hari-hari di Mekah setelah kehilangan Khadijah istri tercinta dan Abu Thalib paman terkasih. Beliau lantas memutuskan untuk pergi ke Thaif. Beliau sangat berharap para pemimpin dan masyarakat Thaif mau menerima dakwahnya. Namun kedatangan Rasulullah ternyata disambut dengan umpatan, lemparan batu, dan perlakuan buruk yang tiada pantas. Thaif ternyata lebih menyakitkan.

Di tengah luka dan lapis kesedihannya, kekasih Allah itu mengadukan kelemahan hatinya, “Kepada siapa Engkau serahkan nasibku? Pada orang jauh yang muram atau pada musuh yang akan menguasai? Asal Engkau tidak murka padaku, aku tidak peduli karena banyaknya nikmat yang Engkau berikan padaku.”

Siapa yang tega mendengar rintihannya yang sedemikian pilu namun tetap mengagungkan Tuhannya?

Maka atas izin Allah, malaikat Jibril menawarkan pada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar memerintah dua malaikat penjaga gunung untuk membalikkan gunung di sana sehingga menimpa para penduduk Thaif yang kejam.

Tapi Muhammad benar-benar menginsyafi tugas kerasulannya. Ia adalah pembawa rahmat bukan penebar azab. Maka beliau menyingkirkan semua luka hatinya dan dengan harap meminta pada Allah agar kelak lahir keturunan orang-orang Thaif yang beriman dan tidak menyekutukan-Nya. Jika demikian, adakah yang menyangkal keluhuran akhlaknya di tengah derita jalan lurusnya?

Mereka sebenar-benar teladan meyakinkan kita bahwa “Ihdinash shirathal mustaqim” bukan jalan yang mudah. Ya, jalan yang lurus ternyata adalah jalan yang penuh dera cobaan. Berlimpah air mata, penuh luka yang sangat perih, juga rasa sakit yang menghimpit. Jalan yang lurus ternyata tidak pernah mulus, namun percayalah tetap ada teman yang saling meneguhkan dalam senyum dan kekhawatiran. Sepanjang jalan itu syukur dan cinta akan tetap berlimpah. Lantas kelak di ujungnya, terdapat keindahan yang melupakan segala derita yang ditanggung sebelumnya.

Maka ya Allah, izinkan kami berucap lirih “Ihdinash shirathal mustaqim…

Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yang lara dan kesenangannya selalu menuju pada-Mu.

Tunjukkanlah kami jalan yang Engkau ridhai, meski jelas kami tidak memiliki sabar dan syukur seberlimpah para kekasih-Mu.

Meski jaraknya teramat jauh, izinkan pula kami menyusul mereka untuk menerima limpahan kasih sayang-Mu dalam duka dan suka, dalam pedih maupun bahagia.