RAMUAN KEBAHAGIAAN: Meraih Puncak Intelektual dan Moral
Oleh: Dr. Ahmad Rusdi, MA.Si. ———–
Arus hidup materialisme telah menghancurkan banyak nilai kehidupan, sehingga menyebabkan manusia mengalami kehampaan hidup (Sukring, Rahman, Musthan, & Saadi, 2016). Suatu penelitian mengungkap bahwa pola hidup materialisme justru berdampak buruk pada kesejahteraan subjektif, sulit merasakan kepuasan psikologis, dan justru membuat orang menjadi depresi (Wang, Liu, Jiang, & Song, 2017). Orientasi kebahagiaan yang bersifat kesenangan, terbukti merupakan orientasi yang paling rendah pengaruhnya dengan kepuasan hidup seseorang (Park, Peterson, & Ruch, 2009). Maka, merubah orientasi kebahagiaan nampaknya menjadi hal yang penting bagi diri kita.
Rasulullah SAW memberikan arahan bagaimana menyikapi dunia dan akhirat, keduanya bukan hal yang bertentangan, melainkan dunia sebagai sarana mencapai kebaikan akhirat. Oleh karena itu, Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk mengerjakan urusan dunia sebagai anugerah dari Allah dengan sebaik mungkin (QS. Al-Jumu’ah: 10), bersamaan dengan itu juga menyiapkan kehidupan akhirat dengan sebaik mungkin (QS. Al-Qaṣaṣ: 27). Konsep dunia sebagai sarana menuju kebahagiaan akhirat tentu saja bukan konsep materialisme, melainkan konsep Islam.
Al-Qur’an telah memberikan peringatan jangan sampai manusia terjebak dalam miskonsepsi kebahagiaan, sekalipun kebahagiaan duniawi dirasakan langsung kesenangannya, namun itu bukanlah kebahagiaan sejati (QS. Luqmān: 33). Kesenangan duniawi bersifat sementara, bahkan sangat cepat hilang, adapun kebahagiaan akhirat bersifat kekal (QS. Al-Isrā’: 18-19). Maka, tentu saja seharusnya manusia memilih orientasi kebahagiaan yang sejati (ukhrawi) dibandingkan orientasi kebahagiaan yang binasa (duniawi).
Berbagai Level Orientasi Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah sesuatu yang diinginkan oleh semua manusia. Di antara berbagai manusia, mereka mencari kebahagiaan dengan berbagai orientasi. Ada orientasinya di level yang rendah dan ada yang tinggi. Kebahagiaan dengan orientasi terendah adalah kebahagiaan material. Aristoteles menyebutnya dengan istilah laetus. Orientasi level selanjutnya adalah kebahagiaan dengan orientasi harga diri dan pujian. Aristoteles menyebutnya dengan istilah felix atau felicis (terpenuhinya impian). Al-Farābī menyebut kedua level ini dengan istilah al-Sa’ādah al-Dunyā. Di atas kedua level tersebut ada kebahagiaan dengan orientasi cinta dan kemanusiaan, Aristoteles menyebutnya dengan istilah beatitudo. Di atasnya, ada kebahagiaan dengan orientasi ultimate, mengungkap kebenaran, pencapaian spiritual, dan pengalaman transendental. Kedua level orientasi ini diistilahkan Al-Farābī dengan sebutan al-sa’ādah al-qaswā atau kebahagiaan suprematif (Elhajibrahim, 2006; Müller, 2015). Al-Qur’an menganalogikan al-sa’ādah al-qaswā dengan pengalaman surgawi yang kekal yang didapat dari pencapaian kualitas diri melalui amal saleh baik personal, sosial, maupun ritual.
Dari Mukāshafah Menuju Ma’rifah: Mencapai Kebahagiaan Melalui Intelektualitas
Suatu penelitian mengungkapkan bahwa bahagia bukanlah memiliki perasaan nyaman saja, melainkan merasakan kebenaran (Tamir, Schwartz, Oishi, & Kim, 2017). Jauh sebelumnya, Aristoteles mengatakan bahwa bahagia adalah merasakan sesuatu di saat yang benar, tempat yang benar, orang yang benar, tujuan yang benar, dan cara yang benar (Nicomachean Ethics, 1105b25–6). Al-Qur’an menjelaskan bahwa kebahagiaan transendental akan dicapai ketika seseorang mengoptimalkan potensi tertinggi dari indra dan akal, yang pada akhirnya seseorang akan mengenal Rabb-nya (ma’rifah) dan reaksi ketundukan merupakan pengalaman kebahagiaan tertinggi pada dirinya (QS. Al-An’ām: 74-79).
Mukāshafah adalah pengalaman terdalam yang menyinari seseorang di dalam qalb-nya dalam upayanya mengenal Allah, sehingga menghasilkan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang tersucikan (diparafrase dari (al-Ghazālī, 2005)). Tingkat mukāshafah ini diberikan oleh Allah kepada manusia atas usahanya melakukan pencarian di jalan Allah (QS. Al-‘Ankabūt: 69). Pembahasan tentang mukāshahfah di dalam kitab Iḥyā banyak dihubungkan dengan konseptualisasi pengetahuan, di mana ilmu mukāshafah merupakan ilmu puncak atau tujuan dari segala pengetahuan itu sendiri yang ternyata tujuan dari segala ilmu adalah tentang perkara akhirat (Al-Ghazālī, 2005). Ciri dari seseorang yang sampai pada level ini adalah kehidupan yang harmonis antara personalitas dengan moralitasnya. Sebagai contoh, seorang pemimpin yang adil, adalah contoh keharmonisan antara personalitasnya sebagai pemimpin dan moralitasnya tertingginya, yaitu adil. Keharmonisan ini tidak akan dicapai ketika seseorang tidak berada dalam level mukāshafah. Keharmonisan pada puncak level ini akan membuat seseorang merasakan kebahagiaan yang tertinggi.
Pembeda antara manusia dengan mahkluk lain adalah esensi intelektualitasnya. Individu akan bahagia jika mengoptimalkan potensi tertingginya. Kebahagiaan tertinggi bagi tumbuhan ada pada level vegetatif, yaitu pada nutritif dan reproduktif. Kebahagiaan pada hewan ada pada level motorik dan perseptual. Adapun kebahagiaan pada level manusia ada pada level intelektualitas dan kebijaksanaan (Ibn Miskawaiḥ, 2011). Hanya manusia yang bisa merasakan senang, puas, dan bahagia ketika memenuhi rasa ingin tahu, membuat kesimpulan, meraih pengetahuan, dan menghasilkan karya atau gagasan, karena memang itu adalah salah satu potensi tertinggi dari manusia. Adapun aktivitas intelektual yang paling membahagiakan adalah aktivitas intelektual yang dapat membuka jalan untuk mengenal Allah, mengenal bukan hanya dari proses doktrinasi, melainkan mengenal Allah dengan pemahaman yang mendalam akan pengetahuan tentang diri, alam semesta, dan Allah. Maka, potensi intelektualitas pasti berkaitan dengan nilai ilahiyah, karena berintelektual adalah juga salah satu aktivitas Allah (al-ta’aqqul). Maka, tidak mungkin individu dengan intelektualitas tinggi sampai mengalami ketidakbahagiaan, mungkin kita yang salah dalam memahami arti intelektualitas. Al-Ghazālī mengatakan bahwa orang yang pada tahap puncak intelektualitas (ma’rifah Allāh) akan mengalami keberhasilan (al-najāh) dan kemenangan sejati (fauz) dengan rasa bahagia ini tidak akan dirasakan kecuali oleh al-‘ārifūn (orang yang sampai pada ma’rifah) yang senantiasa mendekatkan diri dan diberikan nikmat oleh Allah untuk senantiasa berada “di sisi-Nya”. Tahap ini disebut juga dhurwah al-kamāl (puncak kesempurnaan) dan tidak ada kebahagiaan yang melebihi darinya.
Tazkiyah: Mencapai Kebahagiaan Moral
Individu yang berintelektual tentunya menunjukkan moralitas yang tinggi. Aristoteles mengatakan bahwa “pengetahuan adalah suci”. Jika kita menemukan ada seseorang berintelektual namun tidak bermoral, lagi-lagi itu disebabkan oleh miskonsepsi kita tentang intelektualitas. Moralitas atau akhlak merupakan sesuatu yang tertanam dalam diri yang tidak terpisahkan dengan intelektualitas. Pengetahuan yang baik membuat seseorang mampu mengendalikan dirinya dengan baik (Adamson & Pormann, 2012; Ibn Miskawaiḥ, 2011; Ibrahim Abu Bakar, 1989). Bahkan, seseorang yang ingin memperbaiki akhlaknya, diperlukan aktivitas amal dan intelektual secara tidak terpisahkan (Al-Ghazālī, 2005).
Tazkiyah adalah upaya untuk menyuburkan atau menyempurnakan jiwa yang berpusat pada peningkatan kualitas qalb yang tercermin dalam keutamaan akhlak. Qalb menjadi bagian penting dan pokok dalam membentuk keutamaan seseorang. Sebelumnya kita membahas hal tersebut, saya akan menjelaskan mengapa qalb tidak diterjemahkan dengan hati. Qalb tidak tepat diartikan dengan hati, karena qalb dapat bermakna jantung badani dan jantung nafsani. Jantung nafsani sering disebut dalam bahasa Indonesia dengan istilah hati, padahal qalb sendiri berarti jantung, bahkan heart juga berarti jantung. Di atas semua itu, jantung nafsani sebagaimana jantung badani adalah pusat dari vitalitas kehidupan seseorang, dan keduanya (jantung badani dan nafsani) adalah terhubung. Qalb yang baik akan membuat tubuh, perilaku, dan akhlak yang baik. Tazkiyah merupakan upaya harmonisasi qalb, ‘aql , nafs, dan arkān (tindakan anggota tubuh). Qalb merupakan raja bagi diri ini. Tubuh yang sehat didominasi oleh jantung yang sehat. Meningkatkan kualitas jantung dilakukan dengan pola hidup sehat. Begitu pula kualitas jantung spiritual (qalb), dilakukan dengan menumbuhkan akhlak yang sehat. Qalb yang bersih didapat dari intelektualitas yang tinggi, kemudian intelektualitas yang tinggi akan mengendalikan daya-daya jiwa (dorongan vegetatif dan animal) untuk bertindak dan berperilaku secara benar dan tepat. Terbiasanya seseorang bertindak benar dan tepat disebut dengan akhlak.
Akhlak baik merupakan indikasi dari bahagianya seseorang. Setelah seseroang bertindak atas akhlak yang baik, maka akan menghadirkan kebahagiaan dalam dirinya, keduanya bersifat resiprocal (timbal balik) (Unanue et al., 2019). Orang yang bahagia, mereka menunjukkan akhlak yang baik dalam berhubungan kepada dirinya, orang lain, lingkungannya, dan kepada Tuhannya (QS. Al-Mu’minūn: 1-11). Sebaliknya, akhlak yang buruk, akan mendatangkan penderitaan bagi individu tersebut (QS. Al-Nisā’ 145; Al-A’rāf: 36 & 47; Yūnus: 27).
Memulai Pencarian Kebahagiaan: Jalur Moral atau Intelektual?
Aktivitas intelektual dan moral idealnya dilakukan secara bersamaan. Namun, perlu diketahui beberapa hal, aktivitas moral yang dilakukan tanpa dasar intelektual akan menghasilkan sesuatu yang tidak selalu efektif dan efisien. Sebagai contoh, dalam upaya mengurangi penderitaan, perlu upaya intelektual untuk mendeteksi sebab ketidakbahagiaan, biasanya disebabkan oleh suatu penyakit akhlak. Adapun masing-masing penyakit akhlak memiliki obat tersendiri untuk mengatasinya. Oleh karena itu, diperlukan upaya intelektual dan pengetahuan untuk mengenal diri terlebih dahulu. Setelah itu, upaya moral dapat dilakukan untuk mengobati penyakit akhlak agar menjadi lebih efektif. Hilangnya penyakit hati artinya hilangnya penderitaan dan satu langkah menuju kebahagiaan.
Jika kita melihat kitab Islam klasik, bab ilmu selalu menjadi bab yang berada di bagian-bagian awal dari kitab tersebut. Ini menunjukkan bahwa dasar pengetahuan sangat penting untuk mencapai kebahagiaan. Ibadah, mu’āmalah, ‘ādah, dan syari’ah didasari oleh pengetahuan agar dapat dilaksanakan secara benar, tepat, dan efektif. Sebagai contoh, memberi nasihat adalah tindakan moral yang baik. Namun, tanpa adanya pengetahuan yang mencukupi, nasihat yang disampaikan mungkin tidak tepat. Hadis yang mengatakan “sampaikan walau satu ayat” justru menunjukkan bahwa menguasai satu ayat diperlukan sebelum disampaikan. Oleh karena itu, wajib bagi semua muslim untuk menuntut ilmu. Kewajiban ini tidak lain bertujuan untuk kebahagian muslim itu sendiri.
Pencapaian kebahagiaan beriringan dengan proses penyempurnaan diri dari waktu ke waktu. Dalam prosesnya, tentu banyak cobaan, bahkan terjatuh, dan mengulang perjuangan dari awal. Cobaan paling berat bukan di luar diri kita, melainkan diri sendiri (mujāhadah al-nafs) berupa kejenuhan, keputusasaan, kekacauan, dan godaan syahwat. Wajar saja, karena pejuang sejati adalah yang mampu mengatasi dirinya sendiri dan imbalannya adalah puncak kebahagiaan (syurga).
Referensi
Adamson, P., & Pormann, P. E. (2012). More than heat and light: Miskawayh’s epistle on soul and intellect. Muslim World, 102(3–4), 478–524. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.2012.01407.x
al-Ghazālī. (2005). Iḥyā’ ’ulūm al-dīn. Beirut: Dār Ibn Hazm. Retrieved from http://www.waqfeya.com/book.php?bid=8109
Elhajibrahim, S. (2006). Alfarabi’s concept of happiness: Eudaimonia, the good and jihād al-nafs. Retrieved from https://sites01.lsu.edu/faculty/voegelin/wp-content/uploads/sites/80/2015/09/Smah-Elhajibrahim.pdf
Ibn Miskawaiḥ. (2011). Tahdhīb al-akhlāq (Politeness of ethics). (al-Halālī, Ed.). Beirut: Manshūrāt al-Jamal. Retrieved from http://archive.org/download/745789549844/tahtheb-alakhlaq.pdf
Ibrahim Abu Bakar. (1989). Some Aspects of Ibn Miskawayh’s Thought. Islamiyyat.
Müller, J. (2015). Duplex beatitudo: Aristotle’s legacy and Aquinas’s conception of human happiness. In T. Hoffmann, J. Müller, & M. Perkams (Eds.), Aquinas and the Nicomachean Ethics (pp. 52–71). Cambridge: Cambridge University Press; Reprint Edition. https://doi.org/10.1017/CBO9780511756313.004
Park, N., Peterson, C., & Ruch, W. (2009). Orientations to happiness and life satisfaction in twenty-seven nations. Journal of Positive Psychology, 4(4), 273–279. https://doi.org/10.1080/17439760902933690
Sukring, Rahman, A., Musthan, Z., & Saadi, D. (2016). The crisis on modern human spirituality. International Journal of Humanities and Social Science, 6(9), 112–115. Retrieved from http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_6_No_9_September_2016/16.pdf
Tamir, M., Schwartz, S. H., Oishi, S., & Kim, M. Y. (2017). The secret to happiness: Feeling good or feeling right? Journal of Experimental Psychology: General, 146(10), 1448–1459. https://doi.org/10.1037/xge0000303
Unanue, W., Gomez Mella, M. E., Cortez, D. A., Bravo, D., Araya-Véliz, C., Unanue, J., & Van Den Broeck, A. (2019). The reciprocal relationship between gratitude and life satisfaction: Evidence from two longitudinal field studies. Frontiers in Psychology, 10, 1–14. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.02480
Wang, R., Liu, H., Jiang, J., & Song, Y. (2017). Will materialism lead to happiness? A longitudinal analysis of the mediating role of psychological needs satisfaction. Personality and Individual Differences, 105, 312–317. https://doi.org/10.1016/j.paid.2016.10.014