Komunikasi Kaji Serdadu Belanda di Indonesia

Dalam rangke memberikan tambahan pengetahuan dan pemahaman tentang dunia tulis-menulis (jurnalistik) bagi mahasiswa baru khususnya, Prodi Ilmu Komunikasi secara khusus menggelar Kuliah Umum bertajuk “Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950” dengan menghadirkan Prof. dr. Gert. J.  Oostinde sebagai pembicara dan Herman Felani Tandjung, MA sebagai Moderator di Gedung Moh. Hatta (Perpustakaan UII), Kamis, 22 September 2016.

Dalam  paparannya, Direktur Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde  (KITL-KNAW) yang juga Guru Besar Sejarah  pada Universitas Leiden, Belanda tersebut mencoba menyampaikan perspektif sejarah kemerdekaan Indonesia dari sudut pandang pihak Belanda melalui sebuah buku karyanya berjudul “Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950” yang digali dari pengalaman/testimoni para serdadu Belanda dan didasarkan pada “dokumen-dokumen ego”, seperti buku harian, surat, kesaksian maupun memoar. Berikut sebagian testimoni dari serdadu Belanda yang tercatat dalam buku tersebut:

 

  • Kami sekarang dibebaskan tetapi masyarakat di Hindia-Belanda masih menderita di bawah pendudukan musuh Jepang. Kami harus datang melakukan pembebasan di sana. Sebagian adalah idealisme, sebagian lainnya petualangan. (Willem Dijckmeester, dalam Van de Kamp 2001: 51, int.)
  • Visi saya tentang Hindia adalah, seperti yang dinyatakan kepada kami: Hindia termasuk Belanda; para nasionalis adalah pemberontak yang harus dilumpuhkan, atau harus menyerah kepada kekuasaan Belanda. (Cornelis Weststrate, dalam Van Wijk dan Bosch 2001: 159, bk.)
  • Bahwa kami di sini bukan untuk melakukan perang tetapi untuk menjaga ketertiban dan ketenangan, sangat dihargai oleh masyarakat setempat. (Jan van de Voorde, dalam Van Wijk dan Bosch 2001: 200, bk.)
  • Pertama-tama menghajar gerombolan revolusioner Soekarno dan Hatta, kemudian membangun kembali tanah jajahan ‘kami’. (Charles Destrée, dalam Bak dan Kout 2010: 13, bk-kpln.)
  • Pemerintah Belanda menipu anak-anaknya. Pasukan-pasukan militer dikirim ke Hindia, resminya untuk memulihkan ketertiban dan ketenangan setelah kalah dari musuh Jepang: penduduk sipil harus dilindungi dari para pencuri, pembunuh, dan penjarah. Ternyata tidak ada satupun yang benar: para pasukan militer itu diterjunkan masuk dalam perang gerilya yang nyata. (A. van Helvoort, dalam Van Helvoort, Van Oerle dan Schotanus 1988: 19, bh.)
  • Hindia kita! Begitulah kami diajari sejak kecil; dengan ini kami diindoktrinasi, demikian bisa dikatakan […]. Namun, pelan-pelan mata kami membuka untuk hak-hak resmi dari rakyat Indonesia untuk benar-benar merdeka berdiri di atas kaki sendiri di tanah sendiri […]. Bahwa kami, para pemuda-di-lapangan yang sederhana di tahun 1946 belumlah matang dalam cara berpikir, tidaklah dapat disalahkan. Bahwa banyak pejabat tinggi kerajaan di Belanda yang pada waktu itu tidak jauh dalam berpikir, saya sesalkan. (Bé Ronner, dalam Ronner 1993: 79-80, mem-bh-srt.)
  • Namun, nafsu kami bertempur menjadi sedikit berkurang kalau kami sadari bahwa kami berperang melawan orang-orang yang menginginkan kebebasan untuk negeri mereka. (Sietze Winjeterp, dalam Mooij 2007: 77, kpln-bk.)

“Tak terhindarkan dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia ada banyak perhatian terhadap masalah kekerasan dan kejahatan perang. Tetapi juga ada tema-tema lain yang dibahas. Buku ini adalah buku dengan banyak ruang untuk nuansa, dengan memperhatikan kompleksitas dan kontradiksi dari masa lalu. Buku ini tidak memiliki pesan moral, tetapi mengajak pembaca untuk memikirkan tentang politik dan moralitas”, ungkapnya.

Prof. dr. Gert. J.  Oostinde berharap agar ke depan akan ada penelitian bersama (bilateral)  tentang pendudukan Belanda di Indonesia dengan tujuan utama untuk memahami dan menjelaskan masa lalu. Hal ini tentu akan berdampak atau memiliki implikasi etis, politik dan bahkan hukum. Kesan kejahatan perang Belanda pun diharapkan akan bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan aksi polisional atau penertiban keamanan.