Prodi Komunikasi Kaji Peran Media dalam Pemberitaan Bencana
“Media mempunyai peran pentng dalam pembentukan perilaku masyarakat. Semoga seminar ini dapat membuka dan menambah wawasan tentang mitigasi bencana, baik dari sisi kebijakan, kajian, maupun regulasi. Sejalan dengan misis UII untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin maka UII harus berperan dalam proses pemberitaan yang mengedukasi kepada masyarakat. Smoga ada tindak lanjut yg lebih jauh dengan pihak-pihak yang berkompeten dengan media bencana”. Demikian sambutan singkat sekaligus harapan yang disampaikan oleh Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII), Dr.rer.nat. Arief Fahmie, S.Psi., MA., Psikolog dalam acara Seminar Nasiona bertajuk Media dan Pemberitaan Bencana yang dihelat oleh Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII bekerjasama dengan Dirjen Kominfo dan Monumen Pers Nasional, Selasa, 22 Maret 2016 di Sahid Rich Hotel Yogyakarta.
Hadir sebagai pemateri seminar diantaranya adalah Prof. Dr. Henry Subiakto, Ahmad Arif dan Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA. Sedangkan Anang Hermawan, S.Sos., MA yang juga dosen prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII tampil sebagai moderator.
Prof. Dr. Henry Subiakto yang saat ini masih dipercaya sebagai staf ahli Menteri Bidang Media Massa Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam kesempatan tersebut mengingatkan peserta untuk senantiasa prefer terhadap bencana. Hal ini bukan tanpa alasan karena secara geografis Indonesia memang masuk dalam kategori rawan bencana. “Kita sebenarnya sangat dekat dengan bencana. Bencana bisa membuat suatu daerah menjadi terkenal. Akan tetapi yang membuat kita terkenal bukan hanya bencananya, namun juga pemberitaan di media dan juga cara mengelola atau menanganinya. Saat kita bisa memberitakan dengan baik, bisa menangani dengan baik, maka bisa menjadi soft power”, ungkapnya.
Beliau juga mengingatkan perlunya para awak media untuk tahu dan punya pengetahuan tentang bencana guna mengurangi resiko terkena dampak bencana saat melakukan liputan bencana. Beliaupun mengapresiasi pemberitaan yang sudah dilakukan saat terjadi gempa Jogja sehingga Jogja mudah untuk bangkit kembali.
Ahmad Arif selaku pembicara kedua menyampaikan materi berjudul Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme (Ekonomi Politik di Balik Peliputan Bencana). Wartawan Kompas ini banyak menyampaikan contoh peliputan atau pemberitaan bencana di Indonesia yang dianggap tak beretika atau bahkan oleh media asing dianggap keterlaluan (mengambil gambar korban secara vulgar, dll) sembari menegaskan bahwa konstruksi berita di media tidak akan lepas dari kepentingan ekonomi atau bisnis pemilik media dan hegemoni kuasa yang terbangun di belakangnya. “Tidak ada obyektifitas dalam pemberitaan media. Dramatisasi pemberitaan media memang dilakukan dalam rangka komoditi”, ungkapnya. Dirinya menambahkan perlunya masyarakat untuk mengetahui tentang kebencanaan, karena ketidaktahuan akan kebencanaan tersebut sangatlah mematikan (baca: akan banyak menelan korban jiwa).
Sedangkan Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA yang juga ketua program studi Ilmu Komunikasi FPSB UII menyampaikan materi tentang Pemberitaan Bencana : Setelah Sepuluh Tahun… Menurutnya praktik jurnalistik kebencanaan di Indonesia berawal pada kejadian tsunami Aceh tahun 2014 lalu. Tsunami tersebut menurutnya sebagai penanda sejarah bahwa Indonesia sebagai negeri rawan bencana sehingga masyarakatnya perlu sadar akan kebencanaan serta menjadi awal munculnya kesadaran di kalangan jurnalis bahwa bencana merupakan berita bernilai tinggi meski tanpa didramatisir.
Muzayin juga mengkritisi wajah pemberitaan bencana di Indonesia yang masih berkutat pada dramatisasi kisah sedih para penyintas, teledor dalam akurasi berita, absen dalam fase peringatan dini, absen ketika isu bencana sudah tidak ‘menjual’ lagi, lemah terhadap kontrol bantuan bencana serta terjebak dalam fungsi karitatif sebagai pengumpul dan penyalur bantuan bencana.
Oleh karenanya Muzayin berpendapat perlunya regulasi yang kuat tentang pemberitaan bencana, perlunya penyusunan, penyepakatan, dan penegakan etika dalam pemberitaan bencana, perlunya dibentuk sebuah tim liputan bencana, serta mengganti dramatisasi pemberitaan saat sudah memasuki fase rekonstruksi dengan kampanye bangkit. Dramatisasi pemberitaan hanya diperlukan pada fase tanggap darurat saja dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip etis.