IMAN KEPADA HARI AKHIR: PERSPEKTIF ESKATOLOGI

Dr. Ahmad Rusdi, MA.Si., 01/10/2024

Meninggalkan keimanan terhadap hari akhir akan berdampak pada tidak terkendalinya perilaku manusia, sehinga kerusakan moral akan terus terjadi (Fauhatun, 2020; Irawan, 2019). Kejahatan dan keburukan menjadi sesuatu yang tidak akan diadili, sehingga manusia bertindak bebas dan tentunya akan menjurus pada kerusakan. Sebaliknya, iman kepada hari akhir membuat perilaku manusia terkendali, menjadikan manusia berperilaku adil, dan menjunjung tinggi kebenaran dan kebaikan serta menjauhi kerusakan (al-A’rāf: 56; Yūnus: 41). Keyakinan atas hari akhir menanamkan keyakinan bahwa seluruh perbuatan akan diadili dengan seadil-adilnya (al-Baqarah: 210; al-Kahfi: 49; al-Zalzalah: 7-8) .

Hari akhir memiliki berbagai makna, salah satunya adalah kematian, atau yang disebut dengan qiyāmah al-sughrā. Ada juga yang bermakna bahwa hari akhir adalah akhir dari alam semesta, atau yang disebut dengan qiyāmah al-kubrā. Keduanya adalah kepastian, baik kematian maupun akhir alam semesta. Kematian merupakan kepastian yang sudah dialami oleh kebanyakan orang, adapun akhir alam semesta adalah kepastian rasional, karena sesuatu yang berawal pasti akan berakhir . 

Kehidupan Setelah Kematian Adalah Logis

Semua jiwa dan entitas makhluk pasti akan merasakan kematian (al-‘Ankabūt: 57). Namun, pernahkah kita berpikir bahwa banyak entitas di alam ini mengalami kematian, kemudian bertransformasi. Sebagai contoh, pohon adalah makhluk bernyawa dan akan mati. Setelah kematian dari pohon, hanya tersisa daun dan kayu. Kemudian, kayu tersebut ditransformasi menjadi substansi lain seperti meja, kursi, dan sebagainya. Secara bentuk, pohon itu sudah mati, namun secara manfaat, pohon itu tetap hidup. Contoh lain, batuan memiliki jiwa pada level mineral tertentu, ini yang menyebabkan batuan punya kemampuan nutritif dan kandungan mineral. Namun, dalam jangka waktu jutaan tahun, batuan akan bertransformasi menjadi batuan lain yang memiliki kemampuan mineral, densitas, dan struktur yang berbeda dari sebelumnya. Secara bentuk, dia mati untuk berubah menjadi substansi yang lain (Aristotle, 1990). Namun, secara entitas, dia tetap berasal dari batu yang sama. Maka, sebenarnya entitas makhluk tidak benar-benar lenyap dan selesai. Kematian hanya merupakan gerbang transformasi menuju ke alam dan bentuk berikutnya.

Transformasi Manusia Setelah Kematian

Setiap level makhluk memiliki cara tersendiri dalam bertransformasi. Batuan akan bertransformasi menjadi jenis batuan yang lain. Tumbuhan akan bertransformasi menjadi bentuk yang lain. Hewan akan bertransformasi menjadi energi yang menutrisi makanan dan tanah. Adapun manusia akan bertransformasi menjadi substansi spiritual menurut kebanyakan pendapat. Pada substansi ini, manusia sudah tidak lagi memiliki jasad dan hanya tersisa instrumen nafsānī . Kebanyakan pendapat menganggap bahwa alam pertama setelah kematian adalah alam barzakh yang secara bahasa artinya alam transisi. Pada alam transisi ini, instrumen nafsānī yang dapat mengakses fenomena dan ingatan materiil masih berfungsi. Sehingga, manusia masih bisa merasakan pengalaman imajiner. Inilah mengapa pada orang yang mengalami death experience masih menyisakan sedikit gelombang otak, karena mungkin masih ada pengalaman imajiner yang dirasakan. Di alam transisi ini, sedikit demi sedikit instrumen imajiner akan terlepas dan manusia akan menuju pada fase alam epistemik.

Alam epistemik mirip dengan yang digagas oleh Plato sebagai alam ide (Menn, 1992). Pada alam ini, semua bersifat ideal, tidak ada lagi gambaran dan imajinasi materiil. Kebahagiaan tidak lagi memerlukan imajinasi fisik. Alam ideal atau alam epistemik hanya berisi tentang kebaikan dan kebenaran (Blumenthal, 1977; Gutas, 2012). Pada jiwa yang sudah terbentuk dengan kebaikan dan kebenaran yang selalu dijunjung tinggi di masa hidupnya, maka akan merasakan kenyamanan jiwa di alam itu. Karena antara jiwa dan alam sudah menyatu. Adapun bagi jiwa yang sudah terbentuk keburukan dan kejahatan pada masa hidupnya, maka penyatuan dengan alam ideal akan sulit, bahkan akan terasa sangat menyiksa. Lebih dari semua itu, bagi jiwa dengan kesucian yang tertinggi, maka posisinya di alam itu juga akan berada dipuncak kebenaran dan kebaikan, yaitu sangat dekat kedudukannya dengan Yang Maha Benar dan Yang Maha Tinggi (Gutas, 2012; Shihadeh, 2012; Walsh, 2015). Itulah orang yang semasa hidupnya selalu riḍā kepada Allah, dan Allah pasti akan riḍā berada di sisinya (al-Bayyinah: 8).

Mungkinkah Jasad Dibangkitkan Kembali?

Pembahasan sebelumnya tentang transformasi manusia setelah kematian menggunakan perspektif eskatologi dualisme, yaitu kematian sebagai pemisahan antara yang jasad dan jiwa. Namun, di dalam Alquran, secara eksplisit dikatakan bahwa di hari akhir manusia akan dibangkitkan bukan hanya sekedar jiwanya, namun juga jasadnya, bahkan tulang belulang, hingga jari-jemarinya dengan sangat detail (al-Qiyāmah: 3-4; al-Rūm: 56; al-Zumar: 68). Pesan ini dapat diinterpretasi bahwa mungkin ada perspektif eskatologi lain yang dapat menjelaskan hari akhir selain eskatologi dualisme. Kematian dan kebangkitan dapat diinterpretasi sebagai cyclic universes, suatu teori yang digagas dalam bidang kosmologi. Hari kebangkitan nampaknya sulit untuk dijelaskan oleh eskatologi dualisme. Namun, dengan pendekatan cylic universes kita bisa melihat bahwa hari kebangkitan akan terjadi dengan hukum alam yang berbeda. Jadi, cyclic universes yang kompatibel dengan keyakinan Islam harus dimodifikasi bahwa cycle yang dimaksud bukan kembali ke alam yang sama, namun kebangkitan kembali dengan adanya hukum alam yang berbeda. Sebagai contoh, hukum alam di dunia saat ini memiliki hukum penuaan (aging). Namun, di alam akhirat, penuaan sudah tidak berlaku lagi. DI Dunia saat ini amal saleh diperlukan, namun di alam akhirat sudah tidak diperlukan (al-An’ām: 158).

Beriman pada Hari Akhir Hindari Risiko Penderitaan

Orang tidak beriman menganggap bahwa alam akhirat tidak pasti. Namun, justru jika sesuatu itu tidak pasti, seharusnya manusia mengambil pilihan yang aman dan tidak berisiko. Mengingkari hari akhir akan menjadi risiko besar yang harus ditanggung di hari pembalasan nanti, karena segala sesuatu yang diperbuat dan kekufurannya secara tidak diduga harus dia pertanggungjawabkan. Hari pembalasan adalah kepastian, tanpa adanya hari pembalasan maka keadilan mutlak tidak akan pernah terwujud. Tanpa keadilan mutlak, kebaikan dan kejahatan tidak diperlukan sebagai suatu ajaran bagi umat manusia. Keadilan di dunia bersifat relatif, maka satu-satunya yang membuat manusia tetap teguh melaksanakan kebaikan dan menjauhi kejahatan adalah bahwa perilakunya akan dibalas dengan seadil-adilnya.

Daftar Pustaka

Aristotle. (1990). On the Soul. Great Books of the Western World, 7, 631–672.

Blumenthal, D. R. (1977). On the intellect and the rational soul. In Journal of the History of Philosophy (Vol. 15, Issue 2, pp. 207–211). https://doi.org/10.1353/hph.2008.0660

Fauhatun, F. (2020). Islam dan Filsafat Perenial: Respon Seyyed Hossein Nasr terhadap Nestapa Manusia Modern. Jurnal Fuaduna : Jurnal Kajian Keagamaan Dan Kemasyarakatan, 4(1). https://doi.org/10.30983/fuaduna.v4i1.2728

Gutas, D. (2012). Avicenna: The metaphysics of the rational soul. Muslim World, 102(3–4), 417–425. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.2012.01413.x

Irawan, D. (2019). Tasawuf sebagai solusi krisis manusia modern: Analisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Tasfiyah, 3(1). https://doi.org/10.21111/tasfiyah.v3i1.2981

Menn, S. (1992). Aristotle and Plato on God as Nous and as the Good Author(s). The Review of Metaphysics, 45(3), 543–573.

Shihadeh, A. (2012). Introduction: The ontology of the soul in medieval Arabic thought. Muslim World, 102(3–4), 413–416. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.2012.01405.x

Walsh, F. (2015). Belief systems: The heart and soul of resilience. In Strengthening Family Resilience (pp. 1–400). https://www.guilford.com/books/Strengthening-Family-Resilience/Froma-Walsh/9781462529865/reviews